Scroll untuk baca berita
Opini

100 Hari Kerja Pasangan SIAP: Ekskavator Lebih Aktif dari Pemerintah

Avatar of Redaksi ✅
×

100 Hari Kerja Pasangan SIAP: Ekskavator Lebih Aktif dari Pemerintah

Sebarkan artikel ini
Alat berat yang beroperasi di penambangan emas ilegal (PETI) di wilayah Desa Balayo, Kecamatan Patilanggio, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. (Foto: Dok. Hibata.id)
Alat berat yang beroperasi di penambangan emas ilegal (PETI) di wilayah Desa Balayo, Kecamatan Patilanggio, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. (Foto: Dok. Hibata.id)

Oleh: Isjayanto Doda – Aktivis Pohuwato

Hibata.id – Janji manis pasangan SIAP (Sehat, Hijau, Andal, Agamis, dan Produktif) saat kampanye kini mulai diuji realitas. Namun, publik Pohuwato tampaknya belum melihat bayangan dari janji-janji itu, bahkan sekadar denyut awal pembangunan pun nyaris tak terasa. Seratus hari sudah pasangan ini memegang kendali pemerintahan, namun yang terlihat bukan kemajuan, melainkan keheningan program dan kerusakan lingkungan yang makin brutal.

Scroll untuk baca berita
Screenshot 2025 11 09 100541

Visi SIAP: Indah di Kertas, Kosong di Lantai Realita

Pasangan ini membawa visi “Pohuwato Sehat, Hijau, Andal, Agamis, dan Produktif.” Tapi sehat bagaimana yang dimaksud? Di desa-desa, warga mulai resah dengan meningkatnya kasus malaria akibat buruknya kualitas lingkungan. Hutan digunduli, tanah dikoyak, sungai tercemar limbah tambang. Bukankah ini justru mengancam kesehatan masyarakat yang katanya menjadi prioritas?

Kesehatan masyarakat yang berkualitas hanyalah jargon tanpa wujud. Tak ada program preventif, tak ada intervensi nyata, dan tak ada pelayanan kesehatan yang signifikan membaik, ekskavator terus menggali tanah tanpa henti, membawa debu dan penyakit, bukan kesejahteraan.

Baca Juga:  Melampaui Batas: Mengatasi Work-Life Balance Bagi Wanita Karir

Pohuwato Hijau atau Pohuwato Terjarah?

Yang lebih ironis adalah slogan “Pohuwato Hijau.” Hijau yang dimaksud apakah hutan yang ditebang habis? Apakah hijaunya perut bumi yang dibongkar alat berat? Karena yang terlihat justru sebaliknya: kawasan yang dulu asri, kini tandus dan bopeng. Alam Panua yang pernah menjadi paru-paru Gorontalo kini diganti dengan suara mesin tambang dan tumpukan batu galian.

Di berbagai titik, ekskavator menjadi pemandangan sehari-hari. Hijau telah berubah menjadi abu-abu. Bukit diratakan, sungai dialihkan, udara penuh dengan partikel debu. Ini bukan Pohuwato hijau, ini Pohuwato yang dijarah habis-habisan atas nama investasi dan pembangunan semu.

Generasi Handal, Tapi Ditolak Perusahaan

Poin berikutnya dari visi SIAP adalah menciptakan generasi yang andal, unggul, dan berkarakter. Tapi bagaimana mungkin itu terwujud jika perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di daerah justru lebih memilih tenaga kerja luar dengan dalih “kurang pengalaman”? Sementara pemuda-pemudi Pohuwato yang ingin mencari nafkah malah tersingkir di tanah sendiri.

Baca Juga:  Pemda di Gorontalo Mau Tarik Saham dari BSG? Coba Pikir Ulang!

Belum ada pelatihan kerja masif. Belum ada program vokasi yang jelas. Generasi muda dibiarkan bersaing tanpa bekal, hanya bermodal semangat yang tak terarah. Ini bukan memberdayakan, ini membiarkan.

Infrastruktur? Investasi? Di Mana Wujudnya?

Janji membangun infrastruktur untuk menunjang investasi juga masih sebatas wacana. Jalan rusak tetap rusak. Akses desa ke kota masih menyulitkan. Listrik masih byar-pet di beberapa wilayah. Belum lagi sinyal yang seakan main petak umpet di pelosok kecamatan.

Lalu, bagaimana bisa menarik investasi jika infrastruktur dasar saja masih compang-camping?

Seratus Hari Tanpa Arah

Seratus hari adalah waktu yang cukup untuk menampakkan arah kebijakan. Tapi di Pohuwato, arah itu justru mengabur. Tak satu pun program unggulan pasangan SIAP yang benar-benar terasa dampaknya bagi rakyat. Tak ada progres nyata, tak ada gebrakan. Yang ada justru kekecewaan masyarakat yang mulai terang-terangan mempertanyakan: ke mana arah pemerintahan ini?

Baca Juga:  Jejak Keluarga Tom Lembong di Gorontalo

Salah satu pilar visi SIAP adalah masyarakat religius dan damai dalam bingkai budaya dan adat istiadat. Tapi apakah pemerintahan ini juga religius ketika membiarkan alam ciptaan Tuhan dihancurkan oleh tambang rakus? Apakah budaya dijunjung tinggi ketika tanah adat dikeruk habis-habisan?

Religius bukan soal simbol dan ucapan. Religius adalah menjaga amanah, termasuk menjaga lingkungan dan melindungi rakyat dari penderitaan.

Pemerintahan SIAP punya banyak pekerjaan rumah. Tapi seratus hari pertama telah menjadi sinyal kuat bahwa masyarakat tak ingin lagi terbuai jargon dan kata-kata indah. Warga Pohuwato ingin perubahan nyata, bukan pemandangan ekskavator yang terus menggali harapan mereka.

Kalau visi SIAP hanya berakhir sebagai poster kampanye, maka sejarah akan mencatat pemerintahan ini sebagai episode kelam dalam perjalanan Pohuwato. Dan jika arah tak segera dibenahi, bukan tak mungkin rakyat akan bergerak, bukan untuk menunggu perubahan, tapi menuntutnya.

**Cek berita dan artikel terbaru di GOOGLE NEWS dan ikuti WhatsApp Channel