Hibata.id – Ketua Lingkar Pemuda Gorontalo (LPGO), Reflin, melontarkan kritik tajam terhadap sikap Pemerintah Provinsi Gorontalo, khususnya Gubernur, yang dinilai abai dalam menangani konflik berkepanjangan antara penambang rakyat dan perusahaan tambang Pani Gold Project (PGP) di Kabupaten Pohuwato.
Dalam keterangannya kepada Hibata.id, Reflin menyebut bahwa tindakan perusahaan yang menutup akses jalan bagi penambang rakyat merupakan bentuk kesewenang-wenangan yang perlahan membunuh penghidupan masyarakat kecil.
“Ini bukan sekadar penutupan jalan. Ini adalah bentuk pembunuhan perlahan terhadap rakyat. Penambang dan petani dipaksa mati pelan-pelan di tanahnya sendiri karena akses untuk hidup dirampas oleh korporasi,” tegas Reflin.
Ia mengungkapkan bahwa jalan yang diklaim dan ditutup oleh perusahaan tambang sebenarnya telah lama digunakan masyarakat sebelum perusahaan beroperasi di wilayah tersebut. Hal ini, menurutnya, menunjukkan adanya penyerobotan terhadap akses publik yang vital bagi kegiatan ekonomi warga.
Tak hanya itu, Reflin juga menyoroti dampak lingkungan akibat aktivitas pertambangan skala besar. Menurutnya, alih-alih membawa kesejahteraan, kehadiran perusahaan justru mempercepat kerusakan alam di Pohuwato.
“Kalau bicara dampak, justru perusahaan yang paling merusak lingkungan. Tapi mereka yang diberi kuasa menguasai wilayah, sementara rakyat dibungkam,” ujarnya.
Reflin mengingatkan bahwa konstitusi menegaskan pengelolaan sumber daya alam harus sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir korporasi.
Saat ini, masyarakat lokal dihadapkan pada dilema. Para petani di wilayah seperti Buntulia kerap gagal panen akibat pencemaran lingkungan, sementara ketika mencoba beralih ke tambang rakyat sebagai alternatif ekonomi, aksesnya justru ditutup oleh perusahaan.
“Tanam padi gagal karena air tercemar. Mau menambang, jalan ditutup. Lantas rakyat mau makan apa? Haruskah mereka mati di kampung sendiri karena ruang hidupnya dirampas?” kata Reflin.
Ia menilai tindakan perusahaan sebagai bentuk kezaliman dan penindasan terhadap masyarakat lokal, khususnya masyarakat asli Pohuwato yang telah lama hidup berdampingan dengan alam.
“Penutupan jalan ini hanyalah permulaan dari penguasaan sumber daya alam oleh korporasi. Kalau sekarang saja rakyat sudah tersiksa, bagaimana nanti jika seluruh SDA Pohuwato dikuasai sepenuhnya? Siapa yang akan disebut pemilik sah tanah ini?” tambahnya.
Atas situasi yang semakin memanas, LPGO mendesak Gubernur Gorontalo untuk segera turun tangan dan tidak hanya menjadi penonton di tengah penderitaan rakyat.
“Kami minta Gubernur jangan tutup mata. Ini bukan sekadar konflik tambang—ini menyangkut hajat hidup dan keberlangsungan masyarakat Pohuwato,” pungkas Reflin.
Menanggapi tudingan tersebut, Pani Gold Project (PGP) melalui Humas-nya, Kurniawan mengatakan pembatasan akses dilakukan demi keselamatan bersama.
Ia bilang, pembatasan ini bertujuan untuk mengurangi risiko kecelakaan akibat padatnya lalu lintas kendaraan proyek di kawasan IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan).
“Kebijakan ini sesuai dengan UU Minerba, UU Kehutanan, serta regulasi Kementerian LHK,” jelas Kurniawan saat dihubungi Hibata.id via WhatsApp pada 26 Juli 2025.
Terkait kompensasi atau tali asih, Kurniawan menegaskan bahwa pemberian tersebut merupakan bentuk itikad baik, meski secara hukum perusahaan tidak berkewajiban karena lahan yang dikelola adalah milik negara.
“Perusahaan tidak wajib memberi tali asih, namun kami tetap memberikannya sebagai bentuk itikad baik kepada warga yang pernah beraktivitas di dalam wilayah konsesi,” ujarnya.
Ia menyebut bahwa sebagian besar warga telah menerima tali asih, namun masih ada segelintir pihak yang menolak atau tidak hadir dalam proses penyaluran.
“Sudah diundang empat kali, tapi tidak datang. Ada juga yang menuntut nilai kompensasi sangat tinggi atau tidak memiliki lokasi lahan yang jelas,” katanya.
Saat ditanya mengenai besaran nilai tali asih yang diberikan dan permintaan dari masyarakat, Kurniawan tidak memberikan rincian eksplisit.
“Nilainya sensitif. Banyak lembaga atau institusi sepakat untuk tidak menyebutkan angka demi menjaga kesepakatan bersama. Itulah kenapa dikenal istilah non-disclosure agreement,” jelasnya.
Situasi di Pohuwato menunjukkan bahwa konflik antara perusahaan tambang dan masyarakat masih jauh dari penyelesaian.
Ketegangan antara kepentingan industri dan kelangsungan hidup masyarakat lokal menuntut ruang dialog yang lebih adil, terbuka, dan berpihak pada keadilan sosial dan lingkungan.












