Scroll untuk baca berita
Lingkungan

Aktivitas PETI di Pohuwato Disinyalir Terorganisir, Dibekingi Konsorsium?

×

Aktivitas PETI di Pohuwato Disinyalir Terorganisir, Dibekingi Konsorsium?

Sebarkan artikel ini
Alat berat yang beroperasi di penambangan emas ilegal (PETI) di wilayah Desa Balayo, Kecamatan Patilanggio, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. (Foto: Dok. Hibata.id)
Alat berat yang beroperasi di penambangan emas ilegal (PETI) di wilayah Desa Balayo, Kecamatan Patilanggio, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. (Foto: Dok. Hibata.id)

Hibata.id – Aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI) yang marak di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, ternyata memiliki jaringan yang terorganisir, bahkan diduga melibatkan bekingan dari lembaga negara di Gorontalo. Temuan ini terungkap setelah HIbata.id mendapatkan diagram konsorsium PETI di Pohuwato dari pihak anonim.

Dalam diagram konsorsium PETI di Pohuwato yang dikirim itu, praktik pertambangan ilegal ini ternyata sangat terorganisir dari hulu ke hilir. Adapun orang-orang yang di dalam konsorsium ini memiliki jabatan yang cukup tinggi di salah satu lembaga negara, dan mereka memiliki peran masing-masing.

Scroll untuk baca berita

Konsorsium ini memiliki sekitar 14 orang, 1 diantaranya adalah warga sipil yang ternyata juga adalah residivis kasus pertambangan ilegal di Pohuwato. Orang ini berperan sebagai koordinator lapangan lokasi PETI di Kecamatan Paguat, Marisa, Patilanggio, Taluditi, dan Popayato Barat.

Informasi yang diperoleh Hibata.id, orang tersebut diduga yang akan mengumpulkan uang yang disebut sebagai “atensi” atau uang keamanan dari pelaku penambang yang gunakan alat berat di lima kecamatan itu. Adapun uang keamanan itu mencapai Rp 50 juta setiap alat berat, dan itu harus diberikan setiap bulan.

Dalam diagram itu, uang keamanan yang dikumpul oleh seorang warga sipil itu diserahkan kepada salah seorang ajudan dari orang nomor satu dalam sebuah lembaga negara itu. Ajudan ini diduga memiliki berperan penting dalam konsorsium tersebut dengan mengkoordinir setoran alat berat.

Tak hanya alat berat yang diatur, emas dari PETI di lima kecamatan itu ternyata juga harus dijual ke konsorsium tersebut. Seorang warga sipil yang residivis itu diduga juga bertanggung jawab atas penjualan emas itu, dengan dibantu oleh 5 orang anggota konsorsium yang berada di lima kecamatan, dan 1 orang yang bertanggung jawab di wilayah kabupaten.

Ironisnya, emas dari para penambang di lima kecamatan itu dibeli dengan harga murah, yakni hanya Rp 700,000-750,000 per gram. Harga itu hanya separuh dari harga emas saat ini yang mencapai Rp. 1,6 juta per gram (21 Februari 2025). Emas yang dibeli itu diserahkan ke salah satu petinggi di sebuah lembaga negara itu.

Dalam diagram konsorsium, salah satu petinggi itu ternyata diduga bagian dari tim Inspektorat pengawasan daerah di sebuah lembaga negara itu. Dalam konsorsium, dirinya disinyalir berperan sebagai orang mengumpulkan emas yang dibeli dari para penambang, dan menjual kembali emas itu ke investor.

Ketika sudah ada yang membeli emas itu, logam mulia itu diduga dikirim melalui Bandara Djalaluddin Gorontalo. Dalam diagram konsorsium yang peroleh, ada 1 orang yang disinyalir telah dipasang untuk berperan dalam meloloskan emas ilegal yang dibawa oleh investor keluar Gorontalo melalui jalur udara.

Baca Juga:  Empat Fakta Perkembangan Danau Limboto Gorontalo saat ini

Bukan hanya itu, dalam diagram konsorsium PETI di Pohuwato yang dikirim ke Hibata.id, ternyata ada juga 4 orang petinggi dari lembaga negara itu diduga juga berperan penting dalam beroperasinya tambang ilegal ini. Pangkat dari 4 orang ini kurang lebih sama, tetapi mereka memiliki peran tersendiri dalam konsorsium.

Misalnya, ada yang mengkoordinir BBM ilegal yang masuk di PETI di lima kecamatan itu, dan ada juga yang berperan menekan Pemerintah Daerah (Pemda) untuk tidak melakukan penertiban di lokasi PETI. Selain itu, ada juga yang berperan mengatur isu PETI, LSM, dan Aktivis, bahkan ada juga yang berperan mengframing pemberitaan PETI dengan isu Hoax.

Dengan adanya dugaan jaringan yang terorganisir dengan bekingian ini, penegakan hukum sulit dilakukan di PETI di Pohuwato yang sampai hari ini beroperasi. Padahal, PETI di Pohuwato ini sudah menjadi masalah kronis dalam beberapa tahun terakhir, bahkan telah memicu status darurat malaria.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Pohuwato, sudah ada sebanyak 1.541 kasus malaria sejak tahun 2023 hingga Februari 2025 yang terjadi di Pohuwato. Dua diantaranya dilaporkan meninggal dunia setelah terpapar malaria di Kecamatan Dengilo dan Marisa, dua wilayah yang dikenal dengan tingginya intensitas kegiatan PETI.

Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Pelayanan Rumah Sakit Bumi Panua Pohuwato, Inang Toma, mengungkapkan bahwa pasien malaria yang saat ini dirawat sebagian besar adalah orang dewasa, dengan mayoritas di antaranya merupakan para penambang. Meski begitu, ada juga anak-anak dan perempuan dari keluarga para penambang yang ikut jadi pasien.

“Anak-anak ini ikut orang tuanya di lokasi tambang. Begitu juga perempuan yang merupakan istri dari penambang. Kami sempat kesulitan mendapatkan obatnya karena banyaknya kasus Malaria, tapi kami sudah atasi” kata Inang Toma, seperti dikutip dari prosesnews.id, pada Rabu (12/2025).

Inang juga menyebutkan bahwa meskipun Rumah Sakit Panua Pohuwato telah berupaya memberikan penanganan medis kepada pasien malaria dengan pemberian obat Dihydroartemisinin dan Primaquine selama tiga hari, tetapi ada dua warga dari Dengilo dan Marisa meninggal dunia akibat terpapar penyakit tersebut.

Kabid Pelaksana Teknis Malaria Dinas Kesehatan Pohuwato, Roys Gunibala membenarkan penyebaran malaria yang masif di wilayah-wilayah pertambangan ilegal tersebut. Bahkan, katanya, wilayah-wilayah seperti Marisa, Buntulia, dan Taluditi mencatatkan jumlah kasus malaria yang lebih tinggi di Pohuwato.

Baca Juga:  WALHI dan JATAM Sulteng Desak Penghentian Pembangunan Pipa Air Baku di Sungai Karaopa, Morowali

“Penyebaran kasus malaria sudah menyebar di seluruh kecamatan di Pohuwato. Tetapi, Marisa, Buntulia, dan Taluditi menjadi kecamatan yang tercatat paling banyak memiliki kasus malaria,” kata Roys Gunibala kepada Hibata.id, melalui melalui via WhatsApp pada Rabu, (12/02/2025). 

Roys menjelaskan, sudah 2 tahun pihaknya berupaya untuk memutuskan mata rantai penyebaran malaria ini dengan menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) atas penyakit tersebut. Namun, hal itu diakuinya belum berhasil, yang akhirnya penanganan meningkat menjadi status darurat bencana non-alam untuk menangani situasi yang semakin serius.

Roys menjelaskan bahwa selama dua tahun terakhir, pihaknya telah berupaya memutus mata rantai penyebaran malaria dengan menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) atas penyakit tersebut. Namun, ia mengakui bahwa upaya yang dilakukan selama ini belum membuahkan hasil yang maksimal.

Akibatnya, kata Roys, penanganan pun meningkat menjadi status darurat bencana non-alam untuk menangani situasi yang kian serius. Menurutnya, untuk menangani penyebaran malaria ini harus dilakukan serentak, dengan melibatkan kerjasama lintas sektor antara berbagai instansi dan pihak terkait untuk menanggulangi masalah ini secara komprehensif.

Saat ini, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pohuwato akan memimpin dan mengkoordinasikan seluruh kegiatan pemberantasan malaria, bekerja sama dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) serta berbagai pengambil kebijakan untuk memastikan penanganan malaria berjalan efektif.

“Upaya yang dilakukan saat ini lebih fokus pada pengobatan penderita malaria yang sudah terinfeksi, dengan memberikan perawatan untuk meringankan gejala,” jelasnya.

Roys juga mengungkapkan bahwa penelitian bersama tim dari Kementerian Kesehatan RI mengidentifikasi bahwa jentik nyamuk penyebab malaria banyak ditemukan di limbah rumah tangga yang terabaikan. Hal ini menunjukkan pentingnya penanganan limbah dan pencegahan tempat perkembangbiakan nyamuk untuk mengurangi penyebaran malaria.

“Genangan air yang berlumut dan rimbun memiliki potensi besar sebagai tempat berkembang biaknya jentik nyamuk penyebab malaria. Bukan hanya bekas galian lama, namun lingkungan masyarakat saat ini juga menjadi sumber bahaya utama, mengingat adanya genangan air yang terabaikan.,” jelasnya.

Menurutnya, masalah genangan air, khususnya di pemukiman, semakin kompleks, terutama saat musim hujan. Olehnya, kata dia, sangat penting bagi masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan dan mengatasi genangan air guna mengurangi penyebaran penyakit malaria, yang saat ini sudah berstatus darurat.

“Langkah ini bertujuan untuk menggerakkan seluruh elemen masyarakat dalam penanggulangan malaria secara cepat dan efektif, dengan melibatkan kerjasama antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak terkait lainnya,” ucapnya.

Baca Juga:  Fraksi Bersih-Bersih: Pulihkan Sulawesi Tengah dari Krisis Ekologi

Sayangnya, alih-alih menangani masalah penyakit malaria, aktivitas PETI yang menjadi penyebab utama di wilayah Pohuwato seperti sangat subur, tanpa penindakan yang pasti dari aparat penegak hukum (APH). Meskipun ditindak, pasti beberapa hari kemudian, aktivitas PETI akan kembali beroperasi.

Sebenarnya, penambangan emas ilegal yang marak di Pohuwato bukanlah fenomena baru. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, aktivitas ini semakin intens dan melibatkan banyak pihak. Ironisnya, mereka pun menggunakan alat berat berupa ekskavator secara terang-terangan, tanpa ada penindakan.

Dari penggunaan alat tradisional hingga alat berat seperti eskavator, para penambang ilegal ini melakukan penggalian tanah dengan cara yang sangat merusak, meskipun lokasi mereka sangat dekat dengan pemukiman warga. Misalnya, PETI di Desa Balayo di Patilanggio, dan Desa Karya Baru di Dengilo, yang aktivitasnya berdekatan dengan rumah-rumah warga.

Selain itu, beberapa lokasi PETI bahkan terletak sangat dekat dengan salah satu kantor lembaga negara setempat, yang bertanggung jawab untuk menertibkan aktivitas ilegal tersebut. Contohnya adalah PETI di Desa Bulangita, Marisa, yang berlokasi tidak jauh dari salah satu kantor lembaga negara tersebut, bahkan dapat ditemukan di area belakang kantor mereka. 

Alih-alih ditindak, PETI di Pohuwato ini lagi-lagi seperti “Subur” yang ingin menelanjangi hukum, sekaligus aparat penegak hukumnya. Padahal aktivitas itu jelas-jelas melanggar hukum seperti yang diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020, perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Data Satuan Tugas Kejadian Luar Biasa (Satgas KLB) menyebut, Kubangan bekas PETI di Pohuwato ternyata menjadi penyebab utama penyebaran penyakit malaria di Pohuwato. Pasalnya, kubangan bekas tambang menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk Anopheles, yang merupakan vektor (penyebab) utama penyakit malaria.

Satgas KLB mencatat, ada sekitar 500 kubangan bekas pertambangan ilegal di Kecamatan Buntulia, khususnya di Desa Hulawa. Adapun di Kecamatan Taluditi, tepatnya di Desa Puncak Jaya, terdapat lebih dari 200 kubangan yang menjadi sumber penyebaran penyakit tersebut.

Sementara itu, Kecamatan Popayato, Dengilo, dan Patilanggio juga ditemukan banyak kubangan bekas pertambangan ilegal, meskipun jumlah pastinya belum tercatat secara menyeluruh. Semua kecamatan tersebut kini menjadi basis penyebaran penyakit malaria yang, sayangnya, telah merenggut korban jiwa.

**Cek berita dan artikel terbaru di GOOGLE NEWS dan ikuti WhatsApp Channel
Example 120x600