Hibata.id – Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah III Pohuwato mengaku telah melimpahkan satu unit alat berat yang ditemukan di kawasan hutan pertambangan emas tanpa izin (PETI) kawasan hutan Balayo, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, ke Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Kehutanan.
“Yang di Balayo sudah kami laporkan ke Gakkum. Jadi, sekarang bukan di ranah KPH lagi,” ujar Kepala Seksi Perlindungan Hutan dan Pemberdayaan Masyarakat KPH Wilayah III, Jemie S. Peleng, saat dikonfirmasi, Senin, 30 Juni 2025.
Jemie mengatakan, hanya satu unit ekskavator yang mereka temukan di lokasi PETI yang berada dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Namun, saat petugas hendak mengamankan alat berat tersebut, operatornya kabur. Identitas pemilik hingga kini belum diketahui.
“Yang kami temukan hanya operator. Tapi saat didekati, langsung melarikan diri,” ujarnya.
Temuan ekskavator ini sebelumnya sudah disampaikan KPH kepada publik usai pengawasan di Dusun Karya Baru, Desa Balayo. Saat itu, Jemie menyebut alat berat tersebut beroperasi di dalam kawasan hutan, sementara beberapa ekskavator lain terlihat bekerja di luar kawasan, yang menurutnya di luar kewenangan KPH.
“Di dalam kawasan kami hanya temukan satu unit. Di luar masih ada yang aktif, tapi itu bukan wewenang kami,” katanya, 17 Juni lalu.
Ironisnya, meski temuan itu telah dilaporkan ke atasan dan diteruskan ke Balai Gakkum, hingga kini belum terlihat langkah tegas dari aparat. Penanganan kasus ini seperti terhenti di tengah jalan.
Temuan ini menambah deretan panjang pembiaran terhadap aktivitas tambang ilegal di Pohuwato. Di daerah ini, tambang emas tanpa izin nyaris tak pernah absen. Ekskavator bekerja bebas menggali emas, menghancurkan tutupan hutan, mencemari sungai, dan meninggalkan lubang maut—tanpa ada sanksi hukum yang berarti.
Padahal, aturan sudah jelas. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), Pasal 158, menyebutkan bahwa pelaku tambang tanpa izin bisa dipidana maksimal lima tahun dan denda hingga Rp 100 miliar.
Namun, seperti pepatah lama, hukum kerap tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Penambang kecil sering jadi tumbal hukum, sementara pemodal besar seolah berlindung di balik bayang-bayang kekuasaan.
Hingga laporan ini ditulis, suara mesin ekskavator masih terdengar dari Dusun Karya Baru. Sungai-sungai berubah keruh, dan kawasan hutan yang seharusnya jadi benteng ekologis berubah menjadi wilayah eksploitasi liar.
KPH tampak berlindung di balik frasa “di luar kewenangan kami”, sementara kerusakan terus meluas. Publik pun bertanya: untuk apa lembaga perlindungan hutan dibentuk jika tak bisa bertindak?
Sudah saatnya Kementerian Lingkungan Hidup dan dan Kementerian Kehutanan turun tangan langsung. Tidak cukup hanya dengan laporan. Penegakan hukum mesti dijalankan secara menyeluruh—dari operator di lapangan hingga para beking di balik layar.












