Hibata.id – Drama penertiban penambangan emas tanpa izin (PETI) di hutan Desa Balayo, Kecamatan Patilanggio, Kabupaten Pohuwato, kembali menimbulkan tanda tanya. Satu unit excavator yang sempat diamankan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah III Pohuwato kini dilaporkan hilang tanpa jejak.
Kepala Seksi Perlindungan Hutan dan Pemberdayaan Masyarakat KPH Pohuwato, Jemie S. Peleng, saat dimintai konfirmasi pada Jumat (4/6/2025) memilih bungkam. Tidak ada pernyataan resmi maupun klarifikasi terkait hilangnya alat berat tersebut. Pertanyaan soal alasan tidak disita sejak awal razia pun tak dijawab.
Lebih ironis, ketika didesak soal dugaan adanya keterlibatan KPH dengan cukong pemilik excavator, Jemie tetap memilih diam. Sikap bungkam ini justru memicu kecurigaan publik bahwa penertiban selama ini hanya formalitas semu, sebatas sandiwara untuk meredam sorotan media dan masyarakat.
Padahal, fakta di lapangan jelas: aktivitas excavator di kawasan hutan PETI Balayo merupakan pelanggaran serius. Namun, penindakan nyata nyaris nihil. KPH lebih banyak melempar alasan, mulai dari operator kabur saat razia hingga tidak diketahui siapa pemilik alat berat.
Kondisi ini menjadi tamparan keras bagi wibawa lembaga pengelola hutan. Alih-alih menjalankan tugas menjaga kelestarian hutan, KPH Pohuwato terkesan lebih takut berhadapan dengan pelaku PETI daripada menegakkan aturan.
Padahal, Undang-Undang Minerba Pasal 158 mengancam pelaku penambangan tanpa izin dengan pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda Rp 100 miliar. Sementara UU Kehutanan mengancam pidana hingga 10 tahun dan denda Rp 5 miliar. Belum lagi UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengancam pidana dan denda bagi pelaku usaha tanpa izin lingkungan.
Namun di Pohuwato, ketentuan itu seolah tak berlaku. Undang-undang hanya menjadi pajangan, penegakan hukum sebatas statemen di media. Para cukong tambang ilegal tetap bebas beroperasi, sementara alat berat yang semestinya disita lenyap tanpa jejak.
Sebelumnya, KPH Wilayah III Pohuwato pernah mengklaim hanya menemukan satu unit excavator yang beroperasi di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Balayo. Dua alat berat lain disebut ‘parkir cantik’ di hutan, namun tidak dioperasikan. Klaim ini pun menuai kritik karena keberadaan alat berat yang tidak dioperasikan di tengah hutan justru merusak lingkungan.
“Ya betul, ada beberapa alat berat. Tapi yang beroperasi cuma satu. Dua lagi hanya terparkir,” kata Jemie kepada Hibata.id, Rabu (2/7/2025).
Jemie berdalih kunci alat berat tidak bisa dicabut karena operator kabur saat petugas datang. Namun, kesaksian lapangan berbeda. Seorang sumber yang enggan disebut identitasnya mengungkapkan bahwa petugas sempat mencabut kunci beberapa alat berat, tetapi proses itu berhenti tanpa penjelasan jelas.
“Mereka memang sempat cabut kunci. Tapi alat beratnya lebih dari satu. Ini terkesan hanya kamuflase,” ujar sumber itu.
Ketika ditanya soal tanggung jawab, Jemie menyebut hanya satu excavator di dalam kawasan hutan, sedangkan yang lain berada di luar kewenangan KPH. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan: sejak kapan kewenangan menjadi alasan membiarkan tambang ilegal merusak hutan? Mengapa alat berat yang ‘parkir’ tak disegel agar tidak kembali beroperasi?
Sementara itu, laporan ke Gakkum DLHK yang seharusnya menindaklanjuti kasus ini malah tampak sebagai rutinitas administratif tanpa aksi nyata. Alat berat tetap beroperasi, hutan makin gundul, dan kerusakan lingkungan terus berlanjut.
Hingga berita ini diturunkan, suara mesin excavator masih bergema di Balayo. Pohon-pohon tumbang, tanah tergerus, lubang-lubang tambang menganga menjadi ancaman bagi masa depan hutan dan warga setempat. Publik kini menanti langkah tegas KPH Wilayah III Pohuwato dan aparat penegak hukum.