Oleh: Mansur Martam – Penyuluh Agama Islam Boalemo
Opini – Baru-baru ini, media sosial dihebohkan dengan seorang PNS yang dengan bangga menegaskan bahwa dirinya “bukan PPPK, tapi PNS, uti!” Seolah-olah, status PNS itu adalah kasta tertinggi dalam dunia kepegawaian, sementara PPPK hanyalah “ASN Giveaway”—hadiah undian yang bisa didapat dengan modal keberuntungan.
Mari kita bayangkan sebentar. Mungkin ada sebuah mesin undian besar di kantor Badan Kepegawaian Negara (BKN). Setiap kali ada seleksi PPPK, mereka hanya memasukkan kelereng bertuliskan nama peserta, lalu seorang panitia dengan mata tertutup mengambil beberapa nama secara acak. Voilà! Selamat, Anda jadi ASN—eh, maksudnya ASN paruh waktu!
Tentu saja, ini hanya imajinasi sarkasme. Faktanya, PPPK tetap melalui seleksi berbasis kompetensi. Mereka mengikuti tes, memenuhi syarat administratif, dan melewati proses yang tidak bisa dibilang mudah. Tapi, bagi sebagian PNS yang merasa lebih “murni”, kenyataan ini tampaknya sulit diterima. Mungkin mereka berpikir bahwa menjadi ASN adalah hak eksklusif yang diwariskan turun-temurun, bukan sesuatu yang bisa diperoleh melalui mekanisme sah.
Yang lebih menarik, sindiran ini muncul bukan dari masyarakat umum, tetapi dari sesama ASN. Seolah-olah ada kasta dalam sistem pemerintahan kita: PNS adalah bangsawan, sementara PPPK adalah rakyat jelata yang hanya numpang kerja tanpa hak warisan pensiun. Padahal, baik PNS maupun PPPK sama-sama bekerja untuk negara, menjalankan tugas yang sama, dengan satu-satunya perbedaan utama: PPPK tidak mendapatkan tunjangan pensiun dan kepangkatan permanen.
Jadi, kalau ada yang masih berpikir bahwa PPPK adalah “ASN Giveaway”, mungkin mereka perlu bertanya pada diri sendiri: apakah yang membuat seseorang pantas dihormati adalah pekerjaannya atau hanya status jabatannya? Jika seseorang merasa lebih hebat hanya karena ada tiga huruf di belakang namanya, mungkin masalahnya bukan di PPPK, tapi di ego yang terlalu besar.
Pada akhirnya, ASN sejati bukan diukur dari apakah mereka PNS atau PPPK, tetapi dari seberapa baik mereka bekerja untuk masyarakat. Atau mungkin, kita perlu membuka seleksi ASN baru: PPKP (Pegawai Pemerintah dengan Kepribadian Profesional)—siapa tahu, ada yang tidak lolos?