Hibata.id – Ervan Apriyanto tak menyangka, surat keterangan sakit yang seharusnya menjadi pelindung haknya sebagai pekerja justru menjadi pemicu perlakuan semena-mena. Buruh nikel di Kawasan Industri Morowali (IMIP) ini mendapat perlakuan kasar dari atasan, hanya karena memilih beristirahat ketika sakit.
Peristiwa itu terjadi pada 29 Juni 2025. Ervan, yang merupakan anggota Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE-IMIP), didiagnosis menderita diare dan diberikan surat keterangan sakit (SKS) oleh dokter. Ia pun mengikuti prosedur perusahaan: mengisi formulir cuti sakit dan menitipkan dokumen itu kepada rekan kerjanya untuk diserahkan ke pengawas asal Tiongkok.
Namun, bukannya pengertian, yang datang justru penolakan. Dua hari berselang, 2 Juli, izin sakitnya ditolak mentah-mentah dengan alasan “terlalu sering sakit”. Saat mencoba menyerahkan langsung SKS kepada pengawas, ia malah dibentak dan suratnya dibuang ke lantai.
Lebih jauh, seorang pengawas lokal bernama Rivan memintanya membuat surat pernyataan untuk tidak akan sakit lagi—sebuah permintaan yang absurd, tak hanya secara moral tapi juga hukum.
Pada 4 Juli, Ervan melaporkan insiden itu ke bagian admin disipliner perusahaan sambil menyertakan rekaman video yang merekam perlakuan kasar tersebut. Pihak admin mengakui adanya tekanan dari perusahaan untuk menjatuhkan sanksi disipliner, meski secara hukum dan administratif Ervan tak melakukan pelanggaran.
“Sakit bukan pelanggaran. Itu hak normatif yang dilindungi undang-undang,” ujar salah satu staf administrasi yang enggan disebut namanya.
Namun tekanan dari struktur pengawasan tetap berlangsung. Dalam praktiknya, buruh yang sakit diposisikan sebagai beban, bukan manusia.
Menanggapi insiden ini, SBIPE-IMIP mengeluarkan pernyataan keras. Mereka menyebut kasus Ervan sebagai satu dari banyak contoh kerja paksa terselubung yang terjadi di kawasan industri yang dikelola modal asing dan dilindungi status Proyek Strategis Nasional (PSN).
“Kami mengecam keras tindakan pengawas asing dan lokal yang memperlakukan buruh secara sewenang-wenang. Ini adalah bentuk kekerasan struktural dan pelanggaran terhadap hak dasar manusia,” tegas perwakilan SBIPE-IMIP dalam pernyataan resminya.
SBIPE juga menilai sistem ketenagakerjaan di IMIP sarat represi. Pekerja diharuskan tetap bekerja meski sakit, tak boleh mengakses cuti, dan diintimidasi jika bersuara. Mereka menyebutnya sebagai bentuk otoritarianisme industri.
Dalam pernyataannya, SBIPE-IMIP menuntut lima langkah konkret:
- Pemecatan terhadap pengawas asal Tiongkok dan pengawas lokal bernama Rivan.
- Tindakan tegas dari manajemen IMIP terhadap praktik penyalahgunaan wewenang di lapangan.
- Sanksi administratif dari Pemerintah Kabupaten Morowali terhadap PT. LSI/BSI selaku perusahaan tempat Ervan bekerja.
- Pertanggungjawaban dari Pemerintah Pusat, khususnya Presiden Prabowo Subianto, atas pelanggaran hak pekerja di proyek strategis nasional.
- Evaluasi total terhadap sistem kerja di industri nikel, terutama yang berada di bawah label PSN.
SBIPE menyerukan dukungan luas dari serikat buruh, organisasi masyarakat sipil, serta media independen. Kasus Ervan dianggap hanya puncak gunung es dari berbagai bentuk represi yang dialami buruh di kawasan IMIP: dihukum karena sakit, dibungkam karena berserikat, dan terus-menerus dieksploitasi dengan dalih pembangunan nasional.
“Negara seharusnya hadir membela buruh, bukan melindungi kekuasaan modal,” tegas SBIPE.