Hibata.id – Candaan seorang dosen Universitas Negeri Gorontalo (UNG) yang menyebut Dumoga, Bolaang Mongondow, sebagai daerah kalimat “pam baku potong” menuai gelombang protes.
Ucapan yang disampaikan saat Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) 2025 itu dinilai berbau diskriminasi dan merendahkan identitas daerah.
Ketua Umum Dewan Pelajar Mahasiswa Dumoga Bolaang Mongondow (DERMAGA-BM), Wahyudi Bonde, menyebut candaan tersebut bukan sekadar lelucon, melainkan bentuk stereotip yang merugikan.
“Meski disampaikan dengan nada bercanda, ucapan yang menyerempet identitas daerah di hadapan publik dan terlanjur viral dapat melukai harga diri masyarakat Dumoga,” ujar Wahyudi di Gorontalo, Rabu (13/8/2025).
Ia menegaskan, Dumoga memiliki sejarah panjang, kebudayaan kaya, serta kontribusi penting terhadap perekonomian daerah, mulai dari sektor pertanian hingga pertambangan.
Menurutnya, pelabelan kekerasan pada suatu wilayah merupakan pandangan dangkal dan menutup mata terhadap kompleksitas fenomena sosial.
“Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga pembentuk realitas sosial. Candaan semacam ini jelas tidak netral. Kekerasan tidak pernah menjadi sifat bawaan satu daerah tertentu,” tegasnya.
Wahyudi memperingatkan, candaan yang menyerang identitas wilayah berpotensi menimbulkan rasa malu kolektif (collective humiliation) dan merusak kohesi sosial antarwilayah. Ia meminta dosen bersangkutan segera menyampaikan klarifikasi dan permintaan maaf terbuka.
“Nama Dumoga adalah warisan, identitas, dan kebanggaan. Stereotip adalah racun yang harus dihentikan sebelum merusak persatuan,” katanya.
Upaya Mediasi UNG
Menanggapi polemik tersebut, Universitas Negeri Gorontalo bersama Paguyuban Mahasiswa Dumoga menggelar pertemuan mediasi. Pertemuan dipimpin Wakil Rektor III UNG, Prof. Dr. Muhammad Amir Arham, M.E., selaku penanggung jawab PKKMB 2025.
Prof. Amir menegaskan, kegiatan PKKMB tidak pernah dimaksudkan untuk menyinggung identitas daerah maupun memunculkan isu diskriminasi.
“PKKMB adalah wadah untuk membina karakter mahasiswa baru, mengenalkan kehidupan kampus, dan membangun kebersamaan,” ujarnya.
Sekretaris Panitia PKKMB 2025, Dr. Suwitno Yutye Imran, S.H., M.H., menambahkan, candaan yang viral itu terjadi secara spontan saat pemateri membaca tulisan mahasiswa.
Ia memastikan nuansa kekeluargaan dalam kegiatan PKKMB sejak hari pertama tidak pernah dimaksudkan untuk merendahkan.
“Kami memohon maaf kepada masyarakat Dumoga. Semangat kebersamaan yang kami bangun sama sekali tidak bertujuan menyinggung pihak mana pun,” katanya.
Kasus candaan dosen UNG tersebut menjadi peringatan penting bahwa komunikasi publik, khususnya di forum pendidikan, harus menjaga sensitivitas budaya dan identitas lokal.
Dumoga dan Bolaang Mongondow, sebagai bagian dari Sulawesi Utara, memiliki nilai sejarah dan sosial yang tidak dapat direduksi menjadi stereotip kekerasan.












