Hibata.id – Aroma korupsi kembali menyengat kehidupan masyarakat Kabupaten Pohuwato. Skandal memalukan yang mencoreng nama baik lembaga keagamaan kini menjadi sorotan publik. Dana hibah untuk Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ), yang seharusnya digunakan untuk memuliakan Al-Qur’an, justru diduga kuat diselewengkan oleh oknum yang tidak hanya merusak tatanan hukum, tetapi juga mengkhianati kepercayaan umat.
Koordinator Rembuk Pemuda Kabupaten Pohuwato, Moh Irfandi Djumaati, menyampaikan sikap tegas yang tidak bisa ditawar. Menurutnya, kasus dugaan korupsi dana hibah LPTQ bukan sekadar penyimpangan administratif, tetapi merupakan bentuk pengkhianatan terhadap umat dan negara.
“Ini bukan sekadar penyimpangan. Ini pengkhianatan! Ini bukan persoalan administrasi, tapi soal niat merampok uang rakyat—uang umat—dengan balutan simbol agama. Kami muak, dan kami tidak akan tinggal diam,” tegas Irfandi.
Diketahui, kasus ini telah resmi dinaikkan ke tahap penyidikan oleh Kejaksaan Negeri Pohuwato. Pada 24 April 2025, diterbitkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: 284/P.5.14/Fd.1/04/2025, sebagai tindak lanjut atas temuan serius dari Inspektorat Daerah. Dalam Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT), ditemukan potensi kerugian negara mencapai Rp736.571.193.
Angka ini bukan sekadar nominal, tetapi cerminan dari kegagalan etika birokrasi dan pelecehan terhadap nilai-nilai publik. Apalagi dana tersebut dialokasikan untuk kegiatan keagamaan dan pendidikan Al-Qur’an—tujuan mulia yang kini ternoda oleh praktik koruptif.
Ironisnya, hingga saat ini Ketua dan Bendahara LPTQ belum mengembalikan sepeser pun dana tersebut, meski batas waktu yang ditetapkan Inspektorat telah berlalu. Lebih buruk lagi, tak ada pertanggungjawaban administratif yang disampaikan—seolah-olah dana publik adalah milik pribadi.
“Jangan ajari rakyat kami soal akuntabilitas jika uang Al-Qur’an saja kalian rampok. Jangan bicara soal iman di podium, sementara di balik meja kerja kalian justru menyetujui pencurian anggaran,” tambah Irfandi.
Lebih lanjut, Rembuk Pemuda menilai bahwa kasus ini tidak hanya mencederai moralitas, tetapi juga secara terang-terangan melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
“Ini bukan ketidaktahuan. Ini adalah kejahatan yang dilakukan dengan sadar. Mereka tahu hukum, namun memilih untuk melanggarnya,” ujarnya.
Atas dasar itu, Rembuk Pemuda Kabupaten Pohuwato menyatakan lima sikap tegas:
- Mendesak Kejaksaan Negeri Pohuwato untuk menuntaskan penyidikan dan segera menetapkan tersangka. Para pelaku harus diadili dan tidak boleh berlindung di balik jabatan atau simbol keagamaan. Jika hukum gagal bertindak, rakyat akan mengambil peran.
- Menuntut pertanggungjawaban Pemerintah Daerah Kabupaten Pohuwato, khususnya Sekretaris Daerah yang ikut menandatangani pencairan dana. Fungsi kontrol birokrasi dan pengawasan internal harus dievaluasi secara menyeluruh.
- Menolak segala bentuk kompromi. Tidak boleh ada wacana “penyelesaian internal” atau “pengembalian dana” sebagai solusi. Sesuai Pasal 4 UU Tipikor, pengembalian kerugian negara tidak menghapus tindak pidana.
- Mendesak Inspektorat Daerah untuk mempublikasikan hasil audit kepada publik. Rakyat berhak mengetahui siapa yang telah menyalahgunakan uang mereka.
- Menuntut DPRD Kabupaten Pohuwato untuk tidak tinggal diam. Laksanakan fungsi pengawasan secara maksimal. Segera panggil pihak terkait dalam forum terbuka. Jika DPRD diam, maka mereka bagian dari persoalan.
Rembuk Pemuda menegaskan bahwa skandal ini telah mencoreng nilai keimanan, menjatuhkan martabat lembaga keagamaan, dan menghina semangat umat Islam yang menjunjung tinggi Al-Qur’an. Dana yang semestinya mendidik generasi Qur’ani justru dijadikan bancakan oleh mereka yang haus kekuasaan dan kehilangan rasa malu.
“Kalau dana Al-Qur’an saja bisa dirampok, bagaimana dengan anggaran pembangunan, pendidikan, atau kesehatan? Ini bukan sekadar aib lokal, ini adalah mimpi buruk bagi masa depan birokrasi yang bersih dan berintegritas. Pohuwato tidak boleh menjadi kuburan bagi keadilan,” pungkas Irfandi.