Hibata.id – Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) akhirnya memicu status darurat malaria di di Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Status darurat itu resmi ditetapkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Pohuwato melalui rapat koordinasi (Rakor) di Aula Kodim 1313 Pohuwato pada Rabu (5/2025) kemarin.
Sekretaris Daerah Pohuwato, Sekda Iskandar Datau mengatakan, malaria di Pohuwato kini tidak hanya dianggap sebagai kejadian luar biasa (KLB), melainkan telah masuk dalam kategori darurat. Artinya, penyebaran malaria menjadi perhatian serius dan keresahan banyak pihak.
“Setelah sebelumnya pada tahun 2022 Kabupaten Pohuwato dinyatakan bebas malaria dan menerima Sertifikat Eliminasi Malaria dari Kementerian Kesehatan RI, situasi kini kembali mengkhawatirkan,” ujar Iskandar.
Iskandar menambahkan, langkah tanggap darurat segera diterapkan dengan mengoptimalkan semua sumber daya untuk penanganan maksimal. Ia menjelaskan bahwa penetapan status darurat sangat penting untuk memberikan perhatian lebih terhadap peningkatan kasus malaria.
“Kami juga menekankan pentingnya kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan semua pihak terkait untuk menangani bencana non-alam ini dengan cepat dan efektif,” tambahnya.
Iskandar juga menegaskan bahwa penanganan wabah malaria yang kini telah berubah menjadi status bencana non-alam bukan hanya menjadi tugas Dinas Kesehatan, tetapi melibatkan semua pihak, termasuk TNI/Polri.
“Langkah-langkah bersama antara pemerintah daerah dan aparat keamanan diharapkan dapat mempercepat penanganan masalah darurat malaria yang semakin mengkhawatirkan ini,” ucapnya.

PETI jadi Penyebab
Kubangan bekas PETI di Pohuwato ternyata menjadi penyebab utama penyebaran penyakit malaria di sejumlah kecamatan. Pasalnya, kubangan bekas tambang menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk Anopheles, yang merupakan vektor (penyebab) utama penyakit malaria.
Ketua Satgas KLB Malaria Kecamatan Taluditi, Hajir Towalu, mengonfirmasi penyebabnya. Ia menjelaskan bahwa penambang yang menggunakan alat berat seperti eskavator meninggalkan genangan air, yang menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk penyebab malaria.
“Penyebaran penyakit di Kabupaten Pohuwato akibat kubangan air bekas tambang ilegal menjadi tempat berkembangnya nyamuk penyebab malaria, sekaligus menjadi tempat tinggal bagi penambang ilegal beserta keluarganya,” kata Hajir Towalu.
Satgas KLB mencatat, ada sekitar 500 kubangan bekas pertambangan ilegal di Kecamatan Buntulia, khususnya di Desa Hulawa. Adapun di Kecamatan Taluditi, tepatnya di Desa Puncak Jaya, terdapat lebih dari 200 kubangan yang menjadi sumber penyebaran penyakit tersebut.
“Sementara itu, di Kecamatan Popayato, Dengilo, dan Patilanggio, meskipun belum terdeteksi kasus malaria, potensi penyebarannya tetap ada jika kondisi ini tidak segera ditangani,” jelasnya.
Tak hanya malaria, dalam sebuah penelitian Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Negeri Gorontalo pada tahun 2015 menunjukkan kandungan merkuri di Pohuwato sudah sangat mengkhawatirkan.
Bahkan, riset itu menyebut lima spesies ikan, dua spesies gastropoda, enam spesies pelecypoda, empat spesies crustacea, dan lima spesies mangrove sudah terpapar merkuri. Artinya, selain darurat malaria, merkuri yang digunakan di lokasi-lokasi PETI di Pohuwato sudah menyebar ke rantai makanan warga setempat.
Aulia Hakim, Pendiri Ruang Setara (RASERA) Project, menyatakan bahwa aktivitas pertambangan ilegal memberikan dampak yang signifikan terhadap lingkungan. Hal ini disebabkan karena praktik PETI seringkali mengabaikan pedoman dan norma-norma lingkungan yang seharusnya diikuti.
“Bahkan, praktik pertambangan legal yang sudah memperoleh legitimasi hukum pun masih sering berisiko terhadap lingkungan, apalagi yang dilakukan tanpa izin,” kata Aulia Hakim, kepada Hibata.id, pada Kamis (6/2/2025)
Selain itu, kata Tulus, sapaan akrabnya, kegiatan penambangan ilegal mengabaikan aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), seperti yang terlihat pada praktik penambangan manual yang berisiko tinggi. Aktivitas ini dapat membuat tanah labil, memicu longsor, dan merusak tutupan lahan, terutama di kawasan sempadan sungai yang berpotensi menyebabkan banjir bandang.
“Para penambang ilegal umumnya tidak dilengkapi dengan peralatan standar, tidak menggunakan alat pelindung diri (APD), yang berisiko mengakibatkan korban jiwa akibat longsor,” jelasnya.
Meskipun informasi terkait bahaya kubangan bekas tambang yang menjadi sarang penyakit malaria dan bahaya penggunaan merkuri telah diketahui, aktivitas pertambangan ilegal di Kabupaten Pohuwato terus berlanjut seperti “baduk yang menari-nari,” tanpa penanganan serius aparat penegak hukum. Ini menjadi ironi.

Apa yang Dilakukan APH?
Sebenarnya, penambangan emas ilegal yang marak di Pohuwato bukanlah fenomena baru. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, aktivitas ini semakin intens dan melibatkan banyak pihak. Ironisnya, mereka pun menggunakan alat berat berupa ekskavator secara terang-terangan, tanpa ada penindakan.
Dari penggunaan alat tradisional hingga alat berat seperti eskavator, para penambang ilegal ini melakukan penggalian tanah dengan cara yang sangat merusak, meskipun lokasi mereka sangat dekat dengan pemukiman warga. Misalnya, PETI di Desa Balayo di Patilanggio, dan Desa Karya Baru di Dengilo, yang aktivitasnya berdekatan dengan rumah-rumah warga.
Selain itu, beberapa lokasi PETI bahkan terletak sangat dekat dengan kantor kepolisian setempat, yang seharusnya bertanggung jawab untuk menertibkan aktivitas ilegal tersebut. Contohnya adalah PETI di Desa Bulangita, Marisa, yang berlokasi tidak jauh dari Polres Pohuwato, bahkan dapat ditemukan di area belakang kantor polisi tersebut.
Alih-alih ditindak, PETI di Pohuwato ini lagi-lagi seperti “Baduk yang Menari-nari” yang ingin menelanjangi hukum, sekaligus aparat penegak hukumnya. Padahal aktivitas itu jelas-jelas melanggar hukum seperti yang diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020, perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Gorontalo hanya memilih untuk melakukan penanganan kasus PETI di Dusun Sambati, Desa Dulupi, Kecamatan Dulupi, Kabupaten Boalemo. Meskipun praktik ini juga sama, kasus PETI di Pohuwato yang memicu darurat malaria seharusnya diprioritaskan.
Sayangnya, justru muncul dugaan Kapolsek Marisa Polres Pohuwato, Iptu Roby Andri Ansyari, diduga melakukan intimidasi terhadap para pelaku dengan tekanan untuk membayar sejumlah uang yang disebut sebagai “atensi” atau uang keamanan.PETI di Desa Hulawa, Kecamatan Buntulia, Kabupaten Pohuwato.
Kapolsek Marisa, Iptu Roby Andri Ansyari pun langsung membantah semua tudingan tersebut saat dihubungi oleh Hibata.id pada Jumat, 31 Januari 2025. Ia menegaskan bahwa semua tuduhan yang diarahkan kepadanya tidaklah benar.
“Tidak benar pak. Saya juga sudah diperiksa oleh Polres pak. Mungkin bisa konfirmasi ke polres terkait hal tersebut,” kata Iptu Roby Andri Ansyari.
Kapolres Pohuwato, AKBP Winarno mengungkapkan bahwa pihaknya telah menurunkan tim dari Propam Polres Pohuwato untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus tersebut.
“Sudah saya turunkan tim Propam dan bagian pengawasan untuk memeriksa kebenaran berita ini. Jika terbukti bersalah, Kapolsek Marisa akan dikenakan sanksi sesuai kode etik kepolisian,” kata Winarno dengan tegas.
Namun, menurut Tulus, maraknya pertambangan tanpa izin di Sulawesi, termasuk Gorontalo, bukan hanya disebabkan oleh masalah tata kelola tambang, tetapi lebih kepada lemahnya penindakan hukum. Ia bilang, mempertanyakan sejauh mana APH sejauh mana aparat penegak hukum mampu menanggulangi praktik PETI.
“Rata-rata di lokasi PETI, pasti ada dugaan bahwa sejumlah oknum dari aparat penegak hukum terlibat dalam pembiayaan dan pengelolaan tambang ilegal,” ucanya.
Menurutnya, jika tidak ada penindakan tegas terhadap praktik ini, maka hal itu sama saja dengan membiarkan negara merugi akibat pencurian kekayaan alam dan kerusakan lingkungan. Selain itu, masyarakat akan menjadi korban dari kerusakan alam yang ditimbulkan oleh aktivitas tambang ilegal.
“Oleh karena itu, penegakan hukum harus menjadi perhatian serius untuk menghentikan praktik ini dan melindungi sumber daya alam kita,” pungkasnya.