Hibata.id – Sebuah video berisi candaan seorang dosen Universitas Negeri Gorontalo (UNG) yang menyebut Dumoga, Bolaang Mongondow, sebagai daerah “pam baku potong” memicu gelombang protes di media sosial. Ucapan itu dilontarkan dalam kegiatan penerimaan mahasiswa baru, Selasa, 12 Agustus 2025.
Ketua Umum Dewan Pelajar Mahasiswa Dumoga Bolaang Mongondow (DERMAGA-BM), Wahyudi Bonde, menilai candaan itu berbau diskriminatif dan merendahkan identitas daerah. “Meski disampaikan dengan nada bercanda, ucapan yang menyerempet identitas daerah di hadapan publik dan terlanjur viral dapat melukai harga diri masyarakat Dumoga,” ujar Wahyudi, Rabu, 13 Agustus 2025.
Menurutnya, pernyataan tersebut bukan sekadar kelakar. Ia menyebutnya sebagai bentuk stereotyping dan cultural reductionism—mereduksi identitas daerah menjadi stigma kekerasan. “Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga pembentuk realitas sosial. Candaan semacam ini jelas tidak netral,” kata dia.
Wahyudi menegaskan, Dumoga memiliki sejarah, kebudayaan, serta kontribusi signifikan bagi perekonomian daerah, mulai dari pertanian hingga pertambangan. Stigma kekerasan, menurutnya, mengabaikan kenyataan bahwa kekerasan adalah fenomena sosial yang kompleks dan tidak melekat pada satu wilayah tertentu.
“Pelabelan ‘Dumoga pam baku potong’ bukan hanya dangkal, tapi juga menutup mata terhadap fakta bahwa kekerasan tidak pernah menjadi sifat bawaan daerah,” ujarnya.
Ia memperingatkan, candaan yang menyerang identitas wilayah berpotensi memicu rasa malu kolektif (collective humiliation) dan merusak kohesi sosial antarwilayah—terutama jika diucapkan di forum pendidikan yang seharusnya menumbuhkan rasa saling menghargai.
DERMAGA-BM mendesak dosen tersebut segera memberikan klarifikasi dan permintaan maaf terbuka. “Candaan di publik yang membawa nama daerah secara peyoratif harus dihentikan. Nama Dumoga adalah warisan, identitas, dan kebanggaan. Stereotip adalah racun yang harus dihentikan sebelum merusak persatuan,” tutur Wahyudi.













