Hibata.id – Masyarakat Desa Songak, Kecamatan Sakra, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, hingga kini melestarikan praktik pengobatan tradisional bernama kedewan.
Ritual ini diyakini sebagai bentuk penyembuhan spiritual dan sekaligus sebagai sarana untuk melunasi nazar atau hutang batin yang belum terpenuhi.
Ritual kedewan dilakukan di dua lokasi sakral, yaitu Masjid Bengan dan Makam Keramat yang menjadi pusat kegiatan spiritual warga Songak.
Kedua tempat ini diyakini memiliki kekuatan metafisik yang menjadi penghubung antara manusia dengan alam gaib.
Menurut riset Journal of Lombok Studies, tradisi kedewan merupakan bentuk pengobatan alternatif yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat adat Desa Songak.
Praktik ini menggabungkan nilai-nilai budaya lokal, kepercayaan spiritual, dan kearifan leluhur dalam satu kesatuan prosesi penyembuhan.
Dalam prosesnya, penderita penyakit yang tak kunjung sembuh secara medis akan mendatangi Masjid Bengan sebagai titik awal ritual. Masjid ini merupakan bangunan kuno yang hingga kini tidak diketahui pasti siapa pendirinya.
Konon, lokasi ini dahulu dihuni oleh tokoh spiritual pertama yang menetap di desa tersebut dan kemudian menghilang secara misterius.
Sebelum pergi, tokoh tersebut meninggalkan pesan agar masyarakat yang sakit mendatangi masjid dan makam keramat dengan membawa daun sirih dan rokok sebagai syarat ritual.
Setelah berziarah ke masjid, tahapan dilanjutkan ke makam keramat yang diyakini sebagai tempat bersemayam roh leluhur penjaga desa.
Proses kedewan melibatkan interaksi langsung dengan mangku, yakni penjaga makam yang bertugas menghubungkan keluarga penderita dengan dimensi spiritual.
Jika dianggap perlu dilakukan ritual penyembuhan, keluarga akan diminta menyiapkan berbagai perlengkapan adat.
Salah satu inti prosesi adalah tari penyembuhan, yang dipentaskan berdasarkan permintaan roh penunggu tempat sakral.
Tarian ini dipercaya sebagai media untuk mengusir gangguan halus yang menyebabkan kondisi seperti kesurupan atau dalam istilah lokal disebut kerandingan.
Gejala kerandingan antara lain berupa halusinasi, perubahan emosi mendadak, hingga dorongan untuk meminta benda-benda tertentu seperti emas atau barang pusaka.
Masyarakat percaya, gangguan ini disebabkan oleh pelanggaran adat atau kegagalan memenuhi nazar kepada penunggu tujuh batas desa yang disakralkan.
Selain kedewan, masyarakat Songak juga mengenal dua ritual pendamping, yakni ngayu-ayu yang dilakukan saat tertimpa musibah, dan nyaur sebagai ungkapan syukur setelah permohonan dikabulkan. Ketiga tradisi ini membentuk sistem kepercayaan lokal yang kuat dan saling melengkapi.
Berbeda dengan pendekatan medis modern yang fokus pada aspek biologis, pengobatan kedewan menekankan dimensi spiritual, budaya, dan psikologis.
Waktu penyembuhannya tidak pasti, tergantung pada keyakinan penderita dan hasil komunikasi dengan entitas spiritual yang dipercaya menguasainya.
Desa Songak sendiri merupakan kawasan yang menunjukkan akulturasi budaya antara masyarakat Sasak dan Bali.
Mayoritas penduduk beragama Islam, namun beberapa tradisi lama masih menyimpan unsur kepercayaan Hindu yang diadaptasi secara lokal.
Meski zaman terus berubah, praktik kedewan tetap bertahan sebagai salah satu bentuk kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan antara jasmani, rohani, dan alam gaib.
Tradisi ini menjadi bukti bahwa penyembuhan tidak hanya soal medis, tetapi juga soal makna, warisan, dan spiritualitas masyarakat Lombok Timur.