Hibata.id – Dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia kembali mencuat, kali ini melibatkan Adira Finance cabang Marisa, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo.
Penarikan sepeda motor milik nasabah yang diduga dilakukan tanpa dasar hukum yang sah, menimbulkan pertanyaan serius ihwal pemahaman lembaga pembiayaan terhadap regulasi fidusia yang seharusnya menjadi rujukan utama.
Dalam wawancara dengan Hibata.id pada Rabu, 7 Agustus 2025, pernyataan Rahmat Ismail, pimpinan Adira Finance Marisa, justru mempertegas kekaburan pemahaman hukum. Ketika ditanya apakah penarikan unit telah sesuai dengan UU Fidusia, Rahmat menjawab dengan balik bertanya, “Menurut bapak, apa itu Undang-Undang Fidusia?”
Pernyataan itu mengundang tanda tanya besar. Terlebih, menurut pengakuan pihak leasing, penarikan kendaraan dilakukan karena nasabah dianggap tidak kooperatif. Kendaraan disebut hanya “dititipkan” ke kantor Adira, bukan ditarik paksa.
“Ini kan bukan ditarik, masih dititip. Kalau ditarik langsung, torang antar,” ujar Rahmat kepada wartawan.
Namun faktanya, kendaraan diambil tanpa kesepakatan atau persetujuan tertulis dari pemilik. Dalam penjelasannya, Rahmat mengatakan bahwa unit dibawa ke kantor karena kesulitan menjalin komunikasi dengan nasabah, dan karena orang tua yang menjadi penjamin sedang berada di tempat.
Padahal, Pasal 29 UU Fidusia secara tegas mengatur bahwa pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia—termasuk penarikan kendaraan—hanya dapat dilakukan atas dasar putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau surat penetapan dari pengadilan.
Ketika ditanya mengenai legalitas proses penarikan tanpa surat pengadilan, pihak leasing justru mengklaim bahwa perjanjian kontrak dengan nasabah memiliki kekuatan yang sama dengan UU Fidusia. Namun, mereka tak mampu menjelaskan dasar hukum dari klaim tersebut.
Alih-alih memberikan argumen yang berbasis hukum, Rahmat justru kembali bertanya, “Kira-kira bagaimana isi dari Fidusia itu?”
Pernyataan ini menimbulkan kesan bahwa pihak leasing belum memahami secara utuh substansi dan prosedur hukum dalam UU Jaminan Fidusia. Terlebih, pengakuan bahwa praktik seperti ini telah berulang kali dilakukan semakin menegaskan lemahnya kepatuhan terhadap aturan hukum yang berlaku.
“Sebelum masalah itu, memang mereka tidak bawa surat penarikan. Mereka hanya menagih. Tapi karena nasabah tidak mau keluar, tidak merespon, dan motor ada di dalam rumah, maka unit dibawa ke kantor. Ini bukan kasus baru,” ujarnya.
Meski diklaim sebagai “penitipan”, dalam kacamata hukum, pengambilan unit tanpa dasar hukum tetap tergolong sebagai penarikan paksa yang melanggar UU Fidusia. Istilah “dititipkan” tak menghapus fakta bahwa kendaraan telah diambil secara sepihak tanpa prosedur hukum yang sah.
Kasus ini menambah deretan panjang praktik eksekusi jaminan fidusia oleh perusahaan pembiayaan yang tak sejalan dengan hukum. Selain merugikan nasabah, tindakan seperti ini berpotensi mencoreng citra industri pembiayaan yang seharusnya tunduk pada prinsip-prinsip hukum dan keadilan.













