Hibata.id – Di tengah seruan penghematan anggaran yang digaungkan Pemerintah Kabupaten Pohuwato, langkah Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat justru memicu kritik. Sebuah pelatihan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan digelar di luar wilayah, memunculkan pertanyaan soal sensitivitas dan prioritas penggunaan anggaran publik.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, Dinkes Pohuwato menggelar pelatihan Antenatal Care (ANC) dan penggunaan USG dasar obstetri terbatas di Hotel Amaris, Kota Gorontalo. Kegiatan tersebut dijadwalkan berlangsung lima hari, dari 20 hingga 25 Oktober 2025.
Lokasi pelatihan yang berada di luar kabupaten dinilai tidak sejalan dengan semangat efisiensi. Sejumlah OPD diketahui harus menunda kegiatan karena keterbatasan anggaran, sementara tunggakan pembayaran bagi ASN dan mitra daerah masih menggunung.
“Kalau semangatnya efisiensi, seharusnya dimulai dari OPD. Tapi yang terjadi justru sebaliknya—kegiatan di luar daerah seperti jadi kebiasaan,” ujar seorang sumber internal kepada Hibata.id.
Tak hanya soal lokasi, publik juga mempertanyakan transparansi anggaran kegiatan tersebut—mulai dari biaya perjalanan dinas, akomodasi hotel, sewa tempat pelatihan, konsumsi, hingga transportasi.
Kalau Dipaksakan di Pohuwato, Justru Lebih Boros?
Menanggapi kritik tersebut, Kepala Dinas Kesehatan Pohuwato, Fidi Mustafa, menjelaskan bahwa pelatihan itu menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Non Fisik atau Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), yang memiliki ketentuan teknis dan administratif ketat.
Menurutnya, pelatihan harus berada di bawah pengawasan lembaga pelatihan terakreditasi seperti Balai Besar Pelatihan Kesehatan (BBPK) Makassar. Sertifikat pelatihan hanya sah jika dikeluarkan lembaga tersebut.
“Kalau pelatihan bersumber dari DAK Non Fisik (BOK), maka harus sesuai SOP dan di bawah pengawasan BBPK Makassar. Tanpa itu, pelatihan tidak akan diakui dan dananya bisa ditolak,” jelas Fidi, seperti disampaikan melalui Wakil Bupati Iwan S. Adam.
Ia menambahkan bahwa Kabupaten Pohuwato tidak memiliki tenaga pelatih bersertifikasi seperti TOC (Training of Coordinator) dan MOT (Manager of Training), sehingga harus mendatangkan pengendali bersertifikat dari Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo.
“Kalau dilaksanakan di Pohuwato, kami harus menanggung biaya perjalanan dinas dan akomodasi mereka. Anggaran kami tidak cukup untuk itu,” jelas Fidi.
Selain itu, narasumber pelatihan, yang sebagian besar adalah dokter spesialis dan pejabat fungsional provinsi, juga tidak bisa meninggalkan tugas pokok mereka untuk waktu lama.
Lebih lanjut, tim pemantau mutu dari BBPK Makassar hanya dapat melakukan supervisi sampai wilayah Kota Gorontalo. Jika kegiatan digelar di Pohuwato, Dinkes harus menanggung biaya tambahan agar mereka bisa hadir. Hal ini dinilai tidak efisien karena tidak didukung anggaran DAK.
“Kalau dipaksakan di Pohuwato, justru bukan efisiensi lagi. Karena butuh tambahan dana dari DAU untuk pengendali, narasumber, dan tim pemantau. Di Gorontalo semua itu bisa terjangkau tanpa biaya tambahan,” tegas Fidi.
Untuk peserta pelatihan, kata dia, tidak ada biaya perjalanan dinas. Yang diberikan hanya uang saku sesuai standar Kemenkes.
Efisiensi atau Kepatuhan Regulasi?
Fidi menegaskan bahwa pelaksanaan pelatihan sudah sesuai ketentuan Kemenkes. Seluruh kegiatan harus melalui proses persetujuan di Desk Kemenkes sebelum dananya ditransfer ke daerah.
“Dana ini bukan dari DAU yang bisa diatur daerah, melainkan DAK dari Kemenkes. Kalau pelaksanaan tidak sesuai standar, maka dananya bisa dibatalkan,” ujarnya.
Kendati demikian, penjelasan ini tetap menyisakan ruang kritik. Publik mempertanyakan sejauh mana pemerintah daerah bisa memperjuangkan agar pelatihan-pelatihan serupa tetap bisa digelar di Pohuwato tanpa melanggar regulasi pusat.
Langkah Dinkes—meski diklaim hemat dan sesuai aturan—dinilai mencerminkan lemahnya perencanaan jangka panjang untuk meningkatkan kapasitas internal dan infrastruktur pelatihan di daerah.
Kini masyarakat menunggu sikap lebih tegas dari Pemda Pohuwato: apakah akan membiarkan ketergantungan pelatihan luar daerah terus berlangsung, atau membangun ekosistem pelatihan lokal yang mandiri dan berkualitas.













