Hibata.id – Kisah Siti Magfirah Makmur, dosen Ilmu Hukum di Universitas Muhammadiyah Gorontalo (UMGO), seakan menampar logika sehat dunia akademik.
Ia dipecat karena sebuah podcast — karya yang justru dibuat atas izin resmi dari atasannya sendiri.
Ironisnya, pengakuan soal izin itu datang dari sumber yang sama sekali tak bisa diabaikan. Yakni ketua Badan Pembina Harian (BPH) UMGO, Yusnan Ekie.
Dalam konfirmasi dengan Hibata.id beberapa waktu lalu, Yusnan mengaku telah memberikan izin kepada Magfirah untuk memproduksi dan mengunggah podcast yang menampilkan mahasiswi berinisial HP, korban kasus di asrama kampus.
Tujuan podcast itu sederhana, mengembalikan martabat sang mahasiswi yang sempat dicap mengalami gangguan jiwa.
“Tujuan Fira adalah membersihkan nama anak ini dengan menghadirkannya dalam podcast untuk membuktikan bahwa ia tidak mengalami gangguan jiwa, seperti yang disangkakan banyak orang,” jelas Yusnan. Bahkan, ia menyarankan agar podcast juga melibatkan narasumber profesional dari kalangan psikolog.
Pernyataan ini membuat alasan pemecatan yang disampaikan pihak rektorat terasa seperti narasi yang terbalik.
Jika izin memang sudah diberikan, lalu di mana letak pelanggarannya?.
Bagaimana bisa sebuah upaya membela mahasiswa dianggap sebagai pencemaran nama baik kampus?
Pengakuan Yusnan bukan hanya memperkuat klaim Magfirah, tapi juga membuka tabir tentang bagaimana sebuah institusi pendidikan bisa kehilangan arah moralnya.
Yang lebih mengherankan, Yusnan juga mengungkapkan bahwa Surat Keputusan (SK) Pemberhentian Tetap terhadap Magfirah diterbitkan tanpa sepengetahuannya.
SK itu muncul setelah SK Pemberhentian Sementara yang dikeluarkan Rektor Kadim Masaong — yang juga dinilai bermasalah secara prosedural.
“Saat itu saya memiliki agenda lain dan tidak bisa hadir, namun keputusan tetap diambil,” ujarnya.
Pernyataan ini menegaskan satu hal, keputusan penting diambil tanpa koordinasi penuh, tanpa mekanisme check and balance yang semestinya dijaga oleh lembaga pendidikan tinggi.
Ironinya, institusi yang seharusnya menjadi tempat menumbuhkan nalar justru memperlihatkan praktik kekuasaan yang serba tergesa.
Bagian paling absurd dari seluruh kisah ini mungkin justru alasan resmi di balik pemecatan.
BPH UMGO tetap menandatangani keputusan pemberhentian Magfirah meski mengakui adanya izin dan kelemahan prosedural. Alasan yang muncul? Sapaan yang dianggap tidak sopan dan ajakan untuk mengkritik.
Magfirah disebut bersalah karena menyebut nama rektor tanpa sapaan formal. Ia juga dianggap “mengajak mahasiswa dan masyarakat untuk menyuarakan kritik terhadap kampus.”
Sulit untuk tidak membaca ironi di balik alasan ini. Kritik — yang seharusnya menjadi denyut nadi kehidupan intelektual — justru diperlakukan sebagai pelanggaran.
Masalah utamanya bukan pada podcast, bukan pada kata-kata, tapi pada rasa takut terhadap suara yang berbeda.
Kasus ini seakan menunjukkan bahwa yang terancam di UMGO bukanlah reputasi kampus, melainkan kebebasan berpikir di dalamnya.
Institusi pendidikan yang seharusnya membuka ruang diskusi justru menutupnya dengan dalih menjaga citra.
Magfirah kini menempuh jalur hukum. Ia menyiapkan somasi sebagai langkah awal menggugat keputusan kampus yang dinilainya semena-mena. Sementara pihak kampus tetap berpegang pada tudingan bahwa ia telah mencemarkan nama baik universitas.
Namun publik tahu, persoalan ini jauh lebih besar dari sekadar sengketa internal. Ini soal bagaimana kampus memperlakukan nalar dan kebenaran.
Ketika suara dosen dibungkam karena kritik, ketika izin diabaikan demi menjaga gengsi, maka universitas kehilangan jiwanya sebagai rumah ilmu.
Kata Rektor

Sebelumnya, Rektor UMGO, Kadim Masaong mengumumkan, telah memberhentikan dengan status tidak hormat kepada dosen Fakultas Hukum, Siti Magfirah Makmur, dalam konferensi pers yang digelar di kampus, Selasa (21/10/2025).
Selain itu, Kadim juga membantah tegas latar belakang insiden yang menimpa seorang mahasiswi, serta mengancam akan memberikan sanksi skorsing kepada mahasiswi yang bersangkutan jika kembali menyebarkan informasi yang merugikan institusi.
“Mulai hari ini, Siti Magfirah Makmur diberhentikan dengan tidak hormat sebagai dosen tetap Program Studi Ilmu Hukum,” ujar Kadim dalam pernyataannya.
Pemberhentian tersebut dipicu oleh tindakan Magfirah yang dianggap mencemarkan nama baik kampus setelah mempublikasikan isu yang dianggap merusak citra universitas. Menurut Kadim, Magfirah telah melakukan kesalahan berulang kali selama bertugas di kampus.
Tak hanya kehilangan statusnya sebagai dosen, Magfirah juga harus menanggung sanksi finansial. Rektor mengumumkan pencabutan beasiswa program doktoral yang tengah ditempuh Magfirah di Malaysia.
“Kami mengusulkan pencabutan beasiswa kepada Majelis Tinggi PP Muhammadiyah, karena yang bersangkutan bukan lagi dosen UMGO,” kata Kadim. Selain itu, Magfirah diberikan waktu satu bulan untuk mengembalikan seluruh biaya beasiswa yang sudah diterimanya.
Polemik ini berawal dari insiden yang menimpa seorang mahasiswi berinisial HP, yang ditemukan dalam kondisi tidak sadarkan diri di balkon asrama kampus pada Kamis malam, 2 Oktober 2025.
Kasus ini menjadi viral setelah pihak pengelola asrama diduga memaksa HP untuk membuat klarifikasi publik bahwa kejadian itu hanya “iseng.”
Magfirah yang dikenal sebagai pembela kelompok terpinggirkan, kemudian mempublikasikan versi korban melalui podcast, di mana HP mengungkapkan bahwa ia memang dalam kondisi tidak sadarkan diri.
Dalam podcast itu juga, HP juga membantah narasi “iseng” yang dipaksakan kampus. Tindakan tersebut kemudian dipandang sebagai tindakan yang mencemarkan nama baik UMGO.
Namun, Rektor Kadim Masaong membantah keras spekulasi penyebab insiden tersebut. Berdasarkan hasil tes psikologi resmi kampus, insiden bukan disebabkan tekanan eksternal maupun kesurupan, melainkan akibat masalah pribadi yang berkaitan dengan keluarga mahasiswi.
“Kasus di asrama bukan karena tekanan atau kerasukan, tapi masalah pribadi terkait keluarganya,” tegas Kadim.
Kadim juga menjelaskan sikap kampus terhadap mahasiswi HP. UMGO telah memberikan teguran keras agar mahasiswi tidak lagi menyebarkan informasi yang dapat merusak citra kampus.
“Jika diulangi, kami akan menjatuhkan skorsing satu semester,” pungkas Kadim.













