Hibata.id – Ekskavator masih terus menari-nari di Hutan Produksi Terbatas (HPT) Balayo, Kecamatan Patilanggio, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Pepohonan tumbang, aliran sungai menghitam oleh lumpur tambang, dan tanah retak menunggu longsor. Di tengah sunyi penegakan hukum, pertambangan emas tanpa izin (PETI) justru kian menggila.
Seorang sumber Hibata, yang meminta identitasnya disamarkan, mengungkap fakta getir. “Ada dua alat berat ekskavator masih beroperasi. Itu masuk kawasan HPT,” ujarnya, Senin, 7 Juli 2025.
Balayo bukan sekadar hamparan pohon. Ia penyangga ekosistem, rumah satwa, dan sumber hidup warga sekitar. Tapi kini, kawasan itu perlahan dijarah, seolah tanpa pengawasan. Ironisnya, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah III Pohuwato, lembaga yang seharusnya menjaga kelestarian hutan, memilih diam.
Dihubungi Hibata.id pada Rabu, 10 Juli 2025, Kepala Seksi Perlindungan Hutan dan Pemberdayaan Masyarakat KPH Jemie S. Peleng tak memberi tanggapan. Tak ada klarifikasi, tak ada penjelasan.
Diamnya KPH menyisakan tanda tanya besar. Bagaimana mungkin aktivitas tambang ilegal luput dari pantauan, padahal berada tepat di wilayah kerja mereka? Padahal hutan berubah menjadi ladang emas. Sungai keruh, ikan menghilang, kebun warga di ambang longsor. Balayo yang dulunya hijau kini dikerat besi.
Aroma kongkalikong tak lagi samar. Kegiatan PETI di Balayo tampak berjalan dengan perlindungan tak kasatmata. Sebelumnya, Jemie S. Peleng, Kepala Seksi Perlindungan Hutan dan Pemberdayaan Masyarakat KPH, mengakui keberadaan ekskavator di lokasi.
“Ya betul, ada beberapa alat berat. Tapi yang sementara beroperasi cuma satu. Dua lagi hanya terparkir,” katanya pada Rabu, 2 Juli 2025.
Penjelasan Jemie memancing gelombang kritik. Logikanya sederhana: untuk apa ekskavator ‘parkir cantik’ di tengah hutan, kalau bukan untuk menggali? Apalagi, jejak kerusakan terlihat jelas—tanah tergerus, pepohonan tumbang.
Lucunya, KPH berdalih tak bisa bertindak karena operator kabur. Kunci kendaraan? “Tidak kami cabut, karena operator sudah duluan lari,” kilah Jemie. Pernyataan itu terdengar janggal, sebab kunci bisa disita sebagai barang bukti, atau minimal mencegah alat berat kembali digunakan.
Informasi dari narasumber lapangan menambah kejanggalan. Ia menyebut petugas KPH sempat mencabut beberapa kunci, namun alat berat itu tetap ditinggal begitu saja. “Ini kesannya hanya kamuflase,” ujarnya.
KPH seperti berlindung di balik dalih kewenangan. Pada 17 Juni 2025, Jemie mengatakan hanya satu ekskavator berada di dalam kawasan hutan. Selebihnya disebut beroperasi di luar HPT, sehingga di luar tanggung jawab mereka.
Padahal, Pasal 158 UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 sebenarnya cukup tegas: penambangan tanpa izin dapat dipidana hingga lima tahun dan didenda Rp 100 miliar. Namun, di hutan Balayo, pasal itu seperti terhempas angin.
Hingga laporan ini diterbitkan, suara ekskavator masih terdengar di Balayo. Lubang-lubang tambang menganga, hutan sekarat. Anak-anak tumbuh di tanah yang makin kering, menghirup udara tercemar debu emas.













