Hibata.id – Upaya pemerintah Indonesia mencapai target Forest and Other Land Use (FoLU) Net Sink 2030 dinilai gagal arah. Forest Watch Indonesia (FWI) mengungkap deforestasi justru meningkat sejak kebijakan ini disahkan, dengan total kehilangan hutan mencapai 1,93 juta hektare dalam dua tahun terakhir.
FWI menyebutkan bahwa target pengurangan emisi sebesar 60 persen dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan, sebagaimana tercantum dalam dokumen FoLU Net Sink 2030, tidak tercapai.
Juru Kampanye FWI, Anggi Putra Prayoga, menilai kebijakan ini tidak dijalankan secara serius di tingkat lapangan.
“Komitmen penurunan deforestasi tidak sejalan dengan praktik di lapangan. Sebagian besar deforestasi bahkan terjadi di dalam konsesi PBPH, termasuk hutan alam, hutan tanaman, dan wilayah restorasi ekosistem,” ujar Anggi dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Jumat (20/6).
Menurut data FWI, sebanyak 375 ribu hektare hutan hilang dalam konsesi PBPH selama periode 2021–2023. Selain itu, hutan juga mengalami konversi melalui skema pelepasan kawasan untuk perkebunan sawit dan perizinan Perhutanan Sosial.
“Jika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menolak rencana usaha perusahaan, deforestasi bisa dicegah. Sayangnya, sawit terus dibangun di atas hutan yang dilepaskan statusnya,” tegas Anggi.
FWI mencatat sekitar 1,66 juta hektare deforestasi terjadi di kawasan yang diklaim negara sebagai hutan negara. Padahal, pemerintah hanya menetapkan kuota deforestasi sebesar minus 577 ribu hektare untuk mencapai target net sink.
Kondisi Pulau Kecil: Terlupakan dalam Tata Kelola Hutan
Anggi juga menyoroti meningkatnya deforestasi di pulau-pulau kecil, yang menyumbang 3 persen dari rata-rata nasional atau setara 318,6 ribu hektare. Sisa hutan alam di pulau kecil kini hanya 3,49 juta hektare, namun terancam oleh tata kelola yang tidak berbasis ekologi lokal.
FWI menilai kebijakan kehutanan kerap menyamakan pengelolaan pulau kecil dengan pulau besar, tanpa mempertimbangkan daya dukung dan fungsi ekologis yang berbeda. Permen LHK No. 7/2021 bahkan membuka ruang tambang tanpa batasan luas di pulau kecil, bertentangan dengan UU PWP3K dan putusan Mahkamah Konstitusi.
RUU Kehutanan Dinilai Bisa Perburuk Krisis Hutan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Kehutanan yang masuk dalam Prolegnas 2025 turut menjadi sorotan. Akademisi menilai draf revisi sarat kepentingan ekonomi, tanpa keberpihakan pada keberlanjutan hutan dan hak masyarakat adat.
Prof. Agustinus Kastanya dari Universitas Pattimura menyebut UU Kehutanan saat ini masih memakai paradigma kolonial melalui asas domein verklaring, yang menyatakan hutan sebagai milik negara. “Sebanyak 106 juta hektare ditetapkan sebagai kawasan hutan, padahal 66 persen dari totalnya merupakan ruang hidup masyarakat,” katanya.
Hal senada disampaikan Dr. Andi Chairil Ichsan (Universitas Mataram) yang menyoroti kaburnya definisi hutan dan deforestasi dalam turunan regulasi UU Cipta Kerja. Akibatnya, kawasan hutan dijadikan lahan proyek pangan, energi, tambang, hingga monokultur industri.
Sementara itu, Prof. La Ode M. Aslan dari Universitas Halu Oleo mengungkap sebanyak 242 pulau kecil telah dibuka tambang seluas 245 ribu hektare. “Tambang merusak daratan sekaligus mencemari perairan. Di Pulau Kabaena, warga pesisir terdampak logam berat dari aktivitas tambang,” jelasnya.
Deforestasi tidak bisa semata dimaknai sebagai emisi karbon yang dilepaskan. Kehilangan hutan juga berarti hilangnya sumber air, pengatur iklim mikro, konservasi biodiversitas, dan ruang hidup masyarakat adat.
Revisi UU Kehutanan perlu mengadopsi pendekatan ekologi dan keadilan sosial sebagai dasar utama perlindungan hutan Indonesia.