Hibata.id – Dulu, warga Desa Botutonuo, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango, sering menyebut laut mereka sebagai “laut mati”.
Airnya keruh, karang rusak, dan ikan hampir tak terlihat. Tapi kini suasananya beda jauh. Laut kembali biru, karang-karang muda mulai tumbuh di dasar, dan ikan-ikan kecil kembali menari di sela-selanya.
Pemandangan itu bukan terjadi begitu saja. Ada kerja keras dan kolaborasi panjang antara peneliti Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pemerintah daerah, dan masyarakat pesisir.
“Awalnya karang di situ sudah banyak rusak, dan menurut masyarakat memang tidak ada ikan lagi. Itu sebabnya kami memilih Botutonuo,” tutur Prof. Dr. Femy Mahmud Sahami, Kepala Pusat Kemaritiman LPPM UNG.
Proses pemulihan ini mulai berjalan sejak tahun 2018 lewat program nasional rehabilitasi terumbu karang dari KLHK. Tim UNG awalnya menanam karang menggunakan balok beton di kedalaman tiga meter.
Dalam enam bulan, hasilnya cukup menggembirakan — jumlah ikan mulai meningkat, pertanda ekosistem mulai pulih.
Namun pandemi COVID-19 tahun 2020 sempat menghambat. Banyak media tanam karang tergeser arus laut, dan hanya sekitar 30 persen yang bertahan.
Tahun 2022 jadi momen kebangkitan. Tim UNG bersama KLHK mengganti metode dengan rangka baja heksagonal atau spider reef frame di kawasan Barrier Reef Botutonuo, yang punya arus kuat dan dasar laut patahan karang.
“Sebanyak 85 unit spider reef dipasang di area seluas 115 m², dengan hasil pemantauan menunjukkan pertumbuhan rata-rata karang 1,72 cm dalam tiga bulan. Kehadiran ikan karang meningkat signifikan, menjadi indikator awal bahwa habitat mulai pulih,” jelas Prof. Femy.
Inovasi ini terbukti berhasil. Tahun 2024, tim melanjutkan penanaman dengan 150 unit tambahan dan 1.050 fragmen karang jenis Acropora tabulate dan Acropora branching.
Hasilnya luar biasa — tingkat hidup 100 persen, pertumbuhan 0,95 cm dalam dua bulan, dan populasi ikan meningkat menjadi 740 individu dari 71 spesies.
“Survei tahun 2024 menunjukkan peningkatan luas area karang hidup serta meningkatnya keanekaragaman ikan karang,” tambah Prof. Femy.
Warga Pesisir, Pahlawan Laut Botutonuo
Di balik suksesnya program ini, ada sosok yang jadi motor penggerak: Alinton Pisuna, Ketua Kelompok Barrier Reef Botutonuo.
Setiap akhir pekan, Alinton dan tim kecilnya rutin turun ke laut dengan alat sederhana untuk memastikan karang tetap tumbuh sehat.
“Dulu waktu saya kecil, terumbu karang di sini indah sekali. Ikan melimpah, laut bersih. Tapi lama-lama semua rusak. Ada pengeboman, penangkapan tak ramah lingkungan, dan wisata pemandian yang merusak karang,” kenangnya.
Kesadaran itu yang membuat Alinton aktif sejak 2017, saat UNG dan KLHK memulai program transplantasi karang. Ia sudah memimpin tiga kali penanaman besar di area konservasi bersama 15 anggota kelompoknya.
“Kami belum punya alat scuba, jadi masih snorkeling. Kalau ada karang yang mati, kami ganti lagi. Setiap Sabtu dan Minggu kami turun untuk membersihkan lumut dan memastikan karang sehat,” ujarnya.
Banyak tantangan mereka hadapi — dari gelombang besar sampai pembangunan dermaga yang sempat menghancurkan 250 meja karang hasil tanam lama. Tapi Alinton tak menyerah.
Tahun 2022, ia kembali memimpin penanaman baru di area barrier reef bersama DKP Gorontalo dan akademisi UNG.
Kini, kelompoknya aktif memantau kondisi laut bareng Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Gorontalo. Mereka juga sering ajak sekolah-sekolah, termasuk Brillikids Leadership Elementary School, buat ikut menanam karang.
“Anak-anak datang dengan semangat. Bibitnya dari kami, mereka tanam sendiri. Itu bagian dari edukasi juga, supaya generasi muda tahu pentingnya laut,” tambah Alinton.
Atas dedikasi itu, KLHK menobatkan Alinton sebagai “Local Hero Konservasi Laut” tahun 2024 — penghargaan nasional pertama untuk warga Gorontalo di bidang pelestarian laut.
“Saya hanya ingin laut ini kembali seperti dulu sebagai tempat kami mencari makan dan tempat anak-anak kami belajar,” tuturnya.
Edukasi Laut untuk Generasi Muda
Bukan cuma nelayan dan peneliti yang belajar dari laut Botutonuo. Tiap tahun, puluhan siswa SD Brillikids Leadership Elementary School datang buat ikut tanam karang bareng kelompok masyarakat.
“Kami ingin anak-anak tidak hanya pintar di kelas, tapi juga punya empati pada alam. Karena itu, kami ajak mereka menanam terumbu karang bersama Pak Alinton,” ujar Ika Rahmawati Hadikum, kepala sekolah Brillikids.
Sebelum turun ke laut, anak-anak diajar teori ekosistem laut oleh dosen Fakultas Kelautan UNG. Setelah itu, mereka melakukan penyelaman dangkal untuk menanam bibit karang sendiri.
“Ketika mereka melihat karang hidup di bawah laut, ada rasa bangga. Mereka jadi tahu, menjaga alam itu bukan wacana, tapi tindakan,” kata Ika.
Program edukasi ini sudah jalan tiga tahun dan jadi simbol kolaborasi antara sekolah, akademisi, dan masyarakat — mencetak generasi yang cerdas, peduli, dan cinta laut.
Pemerintah Turun Tangan
Dukungan pemerintah juga kuat. DKP Provinsi Gorontalo menetapkan kawasan Teluk Gorontalo, termasuk Botutonuo, sebagai zona konservasi prioritas.
“Di Botutonuo ada barrier reef yang jadi penyangga alami dari abrasi. Karena itu, kami dorong program konservasi di sana, termasuk pembuatan terumbu karang buatan dan pemberdayaan kelompok masyarakat,” ujar Syafrie A.B. Kasim, Kepala Bidang Pengelolaan Ruang Laut dan Pengawasan Sumber Daya Kelautan DKP Gorontalo.
Pemerintah juga memfasilitasi kelompok seperti Barrier Reef Botutonuo lewat program nasional Laut Sejahtera (Lautra) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang memberi bantuan alat selam dan pelatihan monitoring biofisik.
Dari Botutonuo untuk Dunia
Sekarang laut Botutonuo bukan lagi sunyi. Dari dasar laut terdengar “napas baru” — karang tumbuh, ikan menari, dan anak-anak bermain di tepi pantai.
Satu karang tumbuh, satu ikan kembali, satu harapan lahir.
Dari Botutonuo, Gorontalo mengirim pesan untuk dunia:
Kalau pengetahuan, pemerintah, dan masyarakat bersatu — laut bukan hanya bisa diselamatkan, tapi bisa hidup lagi.













