Hibata.id – Tujuh puluh sembilan tahun sejak kelahirannya, Kepolisian Republik Indonesia masih bergulat dengan krisis kepercayaan publik. Peringatan Hari Bhayangkara pada 1 Juli 2025 semestinya menjadi pengingat bahwa reformasi institusional Polri—yang dipisahkan dari militer sejak 27 tahun lalu—belum juga selesai. Namun, alih-alih menjadi momen reflektif, peringatan tahun ini justru kembali diwarnai seremoni penuh pencitraan.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP) menyebut agenda seperti parade teknologi, PoliceTube, hingga robot-robot dalam perayaan Bhayangkara tahun ini hanya mempertebal ironi: panggung megah yang menutupi luka institusi. Di balik wajah seremonial, kepolisian dinilai masih bergulat dengan problem struktural, kultural, dan instrumental yang belum tersentuh reformasi serius.
Institusi yang Belum Direformasi
Reformasi Polri digagas agar lembaga ini menjadi sipil, profesional, akuntabel, dan tunduk pada prinsip negara hukum serta hak asasi manusia. Tapi kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. “Polri masih menjadi aktor dominan dalam monopoli kekerasan, pelanggaran HAM, hingga praktik korupsi,” demikian pernyataan Koalisi RFP.
Problem internal semacam lemahnya pengawasan—baik oleh Divisi Propam maupun Kompolnas—masih bercokol. Budaya impunitas dan semangat korsa (esprit de corps) membuat pengawasan internal kehilangan daya. Kode diam (blue code of silence) menjelma sebagai norma tak tertulis di tubuh Polri, membuat penyalahgunaan kekuasaan terus terjadi tanpa koreksi berarti.
Koalisi RFP mencatat sejumlah data dan laporan yang mengafirmasi kegagalan reformasi tersebut:
-
KontraS mendata 3.197 kasus kekerasan oleh polisi dalam lima tahun terakhir (2020–2025), mulai dari penyiksaan, penganiayaan, hingga pembunuhan di luar proses hukum.
-
YLBHI mencatat 67 korban meninggal akibat dugaan pembunuhan di luar hukum oleh polisi pada 2019, dan 130 kasus pelanggaran HAM sepanjang Juli 2022–2023.
-
LBH Masyarakat mendokumentasikan 35 tahanan di Jakarta yang mengaku disiksa selama penyidikan, 21 mengalami pemerasan, dan 7 mengalami kekerasan seksual antara Januari–Mei 2024.
-
Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan dugaan kolusi dan mark-up dalam pengadaan senjata gas air mata (pepper projectile launcher) selama 2022–2023.
-
Praktik “bawah tanah” seperti Konsorsium 303 hingga keterlibatan perwira tinggi dalam kasus narkoba (misalnya Irjen Teddy Minahasa) memperkuat kesan pembusukan dari dalam.
-
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat polisi sebagai aktor kekerasan dominan terhadap jurnalis: 19 kasus pada 2024, 17 kasus di 2023, dan 15 kasus pada 2022.
-
Komnas HAM melaporkan kepolisian sebagai institusi paling banyak diadukan dalam enam tahun terakhir, dengan total 4.485 pengaduan pelanggaran HAM.
-
Ombudsman RI mencatat Polri nyaris selalu berada di posisi tiga besar lembaga yang paling banyak dilaporkan dalam lima tahun terakhir, dengan total 3.355 laporan.
Desakan untuk Pembaruan Serius
Koalisi RFP menilai bahwa Presiden Prabowo Subianto dan DPR RI tak bisa lagi menunda evaluasi total terhadap institusi Polri. Reformasi harus dilakukan menyeluruh, bukan sebatas pada tataran simbolik.
“Reformasi Polri harus menyentuh aspek struktural, instrumental, dan kultural agar sejalan dengan semangat demokrasi, transparansi, dan supremasi hukum,” tegas Koalisi RFP.
Mereka mengajukan lima tuntutan utama:
-
Evaluasi total lembaga Polri dan desain ulang reformasi institusional oleh Presiden dan DPR, untuk membentuk institusi yang profesional, independen, dan demokratis.
-
Pembaharuan KUHAP untuk memperkuat kontrol antar lembaga penegak hukum serta menyeimbangkan dominasi Polri dalam proses peradilan pidana.
-
Evaluasi menyeluruh sistem pengawasan Polri, termasuk Propam dan Kompolnas, dengan membentuk mekanisme pengawasan baru yang independen dan melibatkan masyarakat sipil.
-
Transparansi laporan kinerja dan penggunaan anggaran oleh Polri, agar masyarakat dapat mengakses informasi secara terbuka dan akuntabel.
-
Penindakan tegas terhadap anggota Polri yang melanggar, termasuk pemberhentian dan proses hukum bagi pelaku korupsi, kekerasan, penyiksaan, dan tindakan menyimpang lainnya.
Koalisi menutup pernyataan dengan seruan: Hari Bhayangkara bukan panggung hiburan dan gimik teknologi. Ini seharusnya menjadi momen reflektif untuk mengakui kegagalan reformasi dan memulai langkah berani menata kembali wajah kepolisian.












