Hibata.id — Dugaan keterlibatan Aparatur Sipil Negara (ASN) di Sekretariat DPRD Pohuwato dalam aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI) kembali mencuat. Kasus ini bukan hanya perkara pelanggaran hukum, tapi juga ujian integritas bagi lembaga legislatif.
Namun, sikap Ketua DPRD Pohuwato, Beni Nento, justru memicu tanda tanya. Saat dimintai tanggapan wartawan, Beni menepis. “Jangan minta ke kita tanggapannya, ini kan oknum PNS. Bupati atau Sekda sebagai panglima PNS,” ujarnya singkat.
Pernyataan itu seolah menegaskan DPRD memilih tidak mencampuri urusan dugaan pelanggaran hukum yang melibatkan pegawainya sendiri. Tanggung jawab dialihkan sepenuhnya kepada eksekutif.
Ketika kembali ditegaskan soal potensi tercorengnya nama baik DPRD jika ada ASN—atau bahkan anggota dewan—yang ikut bermain di tambang ilegal, Beni bereaksi tak kalah keras. “Ada oknum DPRD yang main PETI? Jangan cuma orang cerita tanpa bukti,” katanya.
Nada defensif itu dinilai sejumlah pihak seperti membentengi oknum internal. Sorotan publik pun bergeser, dari substansi masalah ke soal pembuktian. Padahal, secara kelembagaan, DPRD tetap memiliki wewenang merekomendasikan sanksi kepada Bupati atau Sekda jika pegawai mereka terbukti melanggar hukum.
PETI bukan sekadar pelanggaran administratif. Di Pohuwato, praktik tambang ilegal telah merusak ekosistem, mengancam sumber air, dan memicu konflik horizontal. Dalam situasi seperti ini, publik berharap DPRD berdiri di garda depan pengawasan.
Dengan jawaban seperti itu, pertanyaannya kini berubah: apakah DPRD Pohuwato benar-benar berkomitmen memberantas PETI, atau memilih diam ketika pelakunya ada di lingkaran sendiri?.













