Hibata.id – Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2025 di Gorontalo kembali menjadi panggung optimisme. Tema “Tangguh dan Mandiri, Sinergi Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Lebih Tinggi dan Berdaya Tahan” terdengar seperti penegasan bahwa daerah ini sedang mencoba menegaskan dirinya sebagai kekuatan ekonomi baru di kawasan timur Indonesia.
Data yang disampaikan Plh. Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Gorontalo, Ciptoning Suryo Condro, berjalan seirama dengan optimisme tersebut.
Pertumbuhan ekonomi triwulan III 2025 mencapai 5,49 persen (yoy) — lebih tinggi dari triwulan sebelumnya serta melampaui catatan nasional dan kawasan Sulampua.
Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa angka pertumbuhan ini patut diapresiasi.
Namun, apresiasi tidak boleh membutakan. Struktur ekonomi Gorontalo yang masih bertumpu pada tiga sektor — pertanian, perdagangan, dan konstruksi — adalah paradoks sekaligus pekerjaan rumah.
Pertanian menyumbang porsi terbesar terhadap PDRB, tetapi bukan berarti sektor tersebut bebas masalah. Produktivitas dan daya tawar petani masih belum sejalan dengan kontribusi nilainya dalam statistik ekonomi.
Inflasi 2,44 persen (yoy) per Oktober 2025 memberi kesan bahwa stabilitas harga berada dalam kendali. Akan tetapi, kesan bukanlah realitas sepenuhnya.
Lima komoditas yang secara persisten menyumbang inflasi — beras dan kelompok barito — menunjukkan bahwa kelemahan rantai pasok belum selesai diatasi.
Surplus komoditas pangan tidak otomatis berarti harga stabil; surplus sering kali hanya menyembunyikan masalah distribusi dan tata niaga.
Ciptoning mengingatkan kembali strategi klasik 4K: keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, dan komunikasi efektif. Strategi ini bukan baru. Ia telah menjadi mantra bertahun-tahun.
Pertanyaannya, apakah sinergi yang sering digaungkan benar-benar terjadi, atau hanya jargon yang hadir setiap inflasi membara?
Sementara itu, sektor keuangan bergerak dalam ritme yang lebih tenang. Pertumbuhan kredit 3,65 persen (yoy) dan DPK 9,47 persen (yoy) mencerminkan sikap kehati-hatian — baik dari perbankan maupun dunia usaha.
NPL di bawah 5 persen memang menunjukkan kesehatan kredit, namun juga menyiratkan belum pulihnya keberanian dunia usaha mengambil risiko investasi skala besar.
Di sisi berbeda, transformasi digital menampilkan wajah Gorontalo yang lebih progresif. Lonjakan transaksi QRIS hingga 259,83 persen secara volume menjadi penanda bahwa masyarakat dan pelaku usaha mulai bergerak ke arah ekonomi digital.
Seluruh pemerintah daerah yang telah berstatus “digital” dalam indeks ETPD menunjukkan bahwa digitalisasi bukan sekadar slogan.
Tantangannya kini bukan lagi adopsi teknologi, melainkan bagaimana memastikan teknologi tersebut bekerja untuk kesejahteraan publik — bukan sekadar meningkatkan angka transaksi.
Penguatan sektor riil melalui UMKM, klaster pangan, digitalisasi usaha, hingga program ekonomi syariah memang memberi efek ekonomi positif. Namun efek positif bukan berarti cukup.
UMKM tidak hanya membutuhkan seremoni dan program; mereka membutuhkan keberlanjutan pasar, kepastian pembiayaan, dan perlindungan dari banjir produk murah.
Menjelang 2026, Bank Indonesia memandang tantangan global dan domestik harus diantisipasi — mulai dari geopolitik, perubahan iklim, arus modal ke aset berisiko rendah, hingga produktivitas pertanian dan kesiapan pariwisata.
Tantangan-tantangan itu bukan daftar formalitas; ini adalah daftar yang sesungguhnya menentukan apakah Gorontalo akan menjadi pemain ekonomi atau tetap menjadi penonton.
BI memprakirakan pertumbuhan ekonomi 2026 berada pada kisaran 5,50 – 6,50 persen. Proyeksi tersebut bukan mustahil. Tetapi proyeksi bukan tujuan; ia hanya kompas.
Persoalannya ialah: di mana langkah konkrit untuk memastikan pertumbuhan itu tidak hanya terasa dalam angka makro, melainkan dalam kesejahteraan masyarakat — khususnya petani, pelaku UMKM, nelayan, dan pekerja sektor informal?
Ciptoning menegaskan lima fokus pembangunan Pemprov Gorontalo — Agro Maritim, SDM, UMKM, Infrastruktur, dan Pariwisata — sebagai fondasi penguatan ekonomi.
Itu benar. Selama fondasi tersebut tidak berubah menjadi sekadar daftar prioritas dalam dokumen perencanaan tahunan.
“Jalan menuju Gorontalo yang maju dan sejahtera tidak akan terwujud tanpa sinergi seluruh pihak. Momentum kolaborasi yang telah kita bangun selama 2025 harus terus dijaga dan diperkuat untuk pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan menuju Indonesia Emas 2045,” tutup Ciptoning.












