Hibata.id – Pemberhentian tidak hormat terhadap dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Gorontalo (UMGO), Siti Magfirah Makmur, patut dibaca lebih jauh.
Kasus ini bukan sekadar persoalan pelanggaran etik kampus, tetapi membuka ruang diskusi lebih luas tentang kebebasan akademik, keberpihakan terhadap korban, serta relasi kuasa di perguruan tinggi.
Dalam konferensi pers yang digelar Selasa (21/10/2025), Rektor UMGO Kadim Masaong menyampaikan keputusan final kampus.
“Mulai hari ini, Siti Magfirah Makmur diberhentikan dengan tidak hormat sebagai dosen tetap Program Studi Ilmu Hukum,” ujarnya.
Kalimat itu menjadi palu terakhir yang menutup perjalanan akademik Magfirah di Kampus Muhammadiyah Gorontalo.
Alasan yang disampaikan pihak kampus menyebut Magfirah dianggap mencemarkan nama baik universitas karena mempublikasikan informasi internal yang memicu kegaduhan.
Masalahnya, publik tahu bahwa yang dipublikasikan dosen tersebut adalah suara korban—mahasiswi berinisial HP—yang diduga dipaksa membuat klarifikasi setelah ditemukan tidak sadarkan diri di balkon asrama kampus.
Etika Akademik dan Hak Korban
Kasus ini bermula dari insiden di asrama UMGO pada 2 Oktober 2025 lalu. Narasi resmi kampus kala itu menyebut insiden yang dialami HP hanya “iseng”.
Namun, pernyataan itu kemudian dibantah oleh HP sendiri dalam podcast yang dipandu Magfirah. Dalam unggahan itu, HP menyatakan dirinya benar-benar tidak sadarkan diri dan bukan sedang bercanda.
Fakta ini lalu membongkar dugaan bahwa ada upaya menekan korban agar menyampaikan versi yang menguntungkan institusi.
Alih-alih merespons substansi persoalan yang menyangkut keselamatan mahasiswi, kampus justru menempuh jalan lain- memutus hubungan kerja dengan dosen yang membela korban.
Bahkan, secara terbuka Rektor UMGO seakan memberi sinyal ancaman lanjutan.
“Jika diulangi, kami akan menjatuhkan skorsing satu semester,” katanya.

Pernyataan itu menimbulkan tanya, apakah kampus sedang melindungi nama baik atau justru menyembunyikan sesuatu?
Tidak cukup dengan pemecatan, UMGO juga memberi hukuman finansial untuk Magfirah.
“Kami mengusulkan pencabutan beasiswa kepada Majelis Tinggi PP Muhammadiyah, karena yang bersangkutan bukan lagi dosen UMGO,” kata Kadim.
Bahkan Magfirah diminta mengembalikan seluruh biaya beasiswa doktoralnya dalam waktu satu bulan.
Kebijakan ini terasa berlebihan. Kritik atau pelanggaran etik apa pun seharusnya diselesaikan melalui mekanisme yang proporsional.
Namun yang terjadi adalah penumpukan sanksi, seakan pesan yang hendak disampaikan kampus sederhana: jangan melawan arus.
Dalam sistem pendidikan tinggi, kampus seharusnya menjadi arena dialog, tempat kebenaran dicari, bukan ditutup-tutupi.
Namun kasus UMGO justru menampilkan wajah lain pendidikan kita. Kampus yang defensif terhadap kritik dan represi terhadap pandangan berbeda. Padahal, keberanian membuka fakta bukanlah kejahatan.
Jika kampus menggunakan dalih “menjaga nama baik” untuk membungkam suara kritis, maka UMGO sedang bergerak mundur dari esensi universitas itu sendiri.
Sebagai institusi pendidikan, UMGO memiliki hak menegakkan disiplin. Tetapi publik juga berhak bertanya, apakah keadilan tegak dalam kasus ini? Apakah kampus benar-benar menyelesaikan masalah atau hanya menyelesaikan orang yang dianggap bermasalah?
Karena ketika keberpihakan pada korban dikriminalisasi sebagai pelanggaran, maka kita patut khawatir: hari ini Magfirah, besok siapa lagi?













