Scroll untuk baca berita
Kabar

Kasus Eksploitasi Seksual Anak di Banggai Kepulauan, Solidaritas Perempuan Desak Penanganan Tuntas

Avatar of Redaksi ✅
×

Kasus Eksploitasi Seksual Anak di Banggai Kepulauan, Solidaritas Perempuan Desak Penanganan Tuntas

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi Kekerasan Anak sumber: rri.co.id
Ilustrasi Kekerasan Anak sumber: rri.co.id

Hibata.id – Kasus kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap anak perempuan berusia 11 tahun di Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, memicu gelombang kecaman dari kalangan pemerhati perempuan dan kelompok feminis. Delapan orang telah ditetapkan sebagai tersangka, termasuk di antaranya anggota keluarga korban, bahkan ibu kandung sendiri.

Tragedi ini kembali menyingkap lapisan gelap kekerasan berbasis gender yang berakar pada relasi kuasa tidak setara dalam sistem patriarki. Anak perempuan menjadi korban ganda: subjek kekerasan seksual oleh laki-laki dalam lingkaran keluarga, dan objek eksploitasi ekonomi oleh ibunya sendiri.

Scroll untuk baca berita
Screenshot 2025 11 09 100541

“Kekerasan ini bukan sekadar tindak kriminal individual. Ini adalah cermin dari struktur sosial yang menindas dan memperlemah posisi anak dan perempuan,” ujar Amalia, staf kampanye Solidaritas Perempuan (SP) Palu, dalam pernyataan resminya, Kamis, 9 Oktober 2025.

Baca Juga:  Diduga Sering Bolos dari Sidang, Yusuf Lawani Terancam Diseret ke BK

SP Palu menilai bahwa tindakan sang ibu yang memperdagangkan tubuh anaknya untuk pelanggan menunjukkan adanya tekanan ekonomi dan kerapuhan sistem perlindungan sosial. Fakta bahwa pelaku utama berasal dari lingkar terdekat korban—termasuk orang tua kandung—menambah tingkat kekejaman kasus ini.

SP Palu menuntut agar seluruh pelaku, termasuk dua tersangka di bawah umur, dijatuhi hukuman maksimal berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang mengancam pelaku kekerasan seksual dengan hukuman hingga 15 tahun penjara.

“Penegakan hukum harus berjalan tanpa kompromi. Tidak boleh ada pelaku yang luput, dan korban harus segera mendapatkan perlindungan menyeluruh, termasuk pemulihan psikologis jangka panjang,” tegas Amalia.

Baca Juga:  Alasan Pemprov Gorontalo Tunda Karnaval Karawo dan HACF 2025

SP Palu juga mendesak Pemerintah Kabupaten Banggai Kepulauan segera membentuk dan mengaktifkan pelayanan terpadu melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). Layanan ini harus berfungsi secara kolaboratif dengan aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta lembaga pendamping lainnya.

Selain itu, SP Palu menekankan pentingnya program edukasi seksual sejak dini melalui sekolah, keluarga, dan komunitas. Edukasi ini mencakup pengenalan tubuh, batasan pribadi, hingga pemahaman hukum perlindungan anak.

Mereka juga mendorong pembentukan forum penanganan korban serta penguatan jejaring lembaga perlindungan anak, termasuk pos pengaduan, layanan konseling, kesehatan, dan rehabilitasi yang melibatkan masyarakat secara aktif.

Baca Juga:  Napi Lapas Pohuwato Salurkan Hak Pilih pada PSU DPRD Provinsi Gorontalo

SP Palu turut menyerukan kepada Pengadilan Negeri agar segera mengalihkan hak asuh korban kepada pihak yang mampu memberikan pengasuhan yang aman dan bertanggung jawab, mengingat keterlibatan orang tua kandung dalam kejahatan ini.

Kasus ini menambah panjang daftar kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi dalam ruang domestik—ruang yang semestinya menjadi tempat paling aman. Solidaritas Perempuan menegaskan, perlindungan anak bukan hanya urusan hukum, tapi soal keberpihakan negara pada kemanusiaan yang paling dasar.

**Cek berita dan artikel terbaru di GOOGLE NEWS dan ikuti WhatsApp Channel