Scroll untuk baca berita
Opini

Ketika Wartawan Kalah Cepat dari Konten

Avatar of Hibata.id✅
×

Ketika Wartawan Kalah Cepat dari Konten

Sebarkan artikel ini
Ketika Wartawan Kalah Cepat dari Konten/Hibata.id
Ketika Wartawan Kalah Cepat dari Konten/Hibata.id

Penulis: Wicaksono

Pagi ini, di depan secangkir kopi tubruk tanpa gula, saya melihat industri media sedang berdiri di perempatan sejarah. Di satu sisi ada media massa yang berjuang mempertahankan kredibilitas, di sisi lain ada influencer dan homeless media yang tumbuh seperti jamur di musim hujan, cepat, ringan, dan tanpa beban tanggung jawab redaksi.

Keduanya sama-sama mengklaim punya pengaruh, tapi struktur dan logikanya berbeda seperti kapal laut dan jet ski: yang satu berat dan kompleks, yang lain gesit dan murah.

Masalah utamanya sederhana tapi getir, struktur biaya media massa sudah terlalu gemuk untuk dunia yang bergerak secepat notifikasi.

Kelahiran satu berita, misalnya, melibatkan wartawan, editor, fotografer, redaktur, copy editor, hingga tim back office. Sementara influencer cukup bermodal ponsel, persona, dan keberanian mengomentari apa pun yang sedang tren.

Homeless media lebih ekstrem lagi, mereka bahkan tak punya wartawan, tapi bisa tampak seperti “media.” Berita diambil dari media besar, dipelintir sedikit, diberi bumbu framing emosional, lalu disajikan seolah hasil investigasi eksklusif. Murah, efisien, dan anehnya lebih dipercaya publik.

Bagi klien, terutama pemerintah dan korporasi, keadaan ini membingungkan. Mereka sering tak bisa membedakan antara visibilitas dan kredibilitas. Virality dianggap sama dengan reputasi.

Media besar dituntut memberi dampak viral, padahal yang dijual seharusnya kredibilitas. Sementara homeless media dan influencer menjual virality tapi membungkusnya dengan narasi reputasi. Kombinasi ini menciptakan pasar ilusi di mana kecepatan lebih berharga daripada kebenaran.

Perbedaan struktur biaya itu memengaruhi cara mereka menilai uang. Seratus juta untuk media besar mungkin cuma cukup membayar satu minggu liputan nasional.

Tapi untuk influencer atau homeless media, itu sudah cukup untuk satu kampanye viral dengan tiga video dan jutaan tayangan. Maka wajar jika lembaga publik tergoda berpindah arah.

Masalahnya, uang publik tidak hanya membeli exposure; seharusnya juga membeli kepercayaan.

Beberapa orang mengusulkan konsolidasi dana publikasi: seluruh anggaran disatukan, lalu dibagi berdasarkan bobot kontribusi setiap jenis media.

Baca Juga:  Menatar Pikiran Hukum Terkait Pemanfaatan Jaringan Pejalan Kaki

Secara teoritis ini bisa menekan praktik kotor seperti ancaman pemberitaan negatif atau permainan harga predator.

Tapi realitasnya, siapa yang menentukan bobot itu? Pemerintah? Lembaga rating? Algoritma?

Kita tahu bagaimana birokrasi di negeri ini bekerja: begitu ada dana bersama, akan ada rebutan baru. Maka gagasan ideal itu berisiko melahirkan kartel baru dalam nama keadilan.

Namun, mengabaikan gagasan itu juga berarti membiarkan industri media terus berdarah. Karena saat ini yang sedang berlangsung adalah asimetri kekuasaan informasi.

Media massa kehilangan posisi tawar, influencer tumbuh jadi kekuatan politik baru, dan homeless media memanen perhatian dengan ongkos minimal. Publik tidak sadar sedang dikendalikan oleh algoritma yang lebih paham emosi mereka daripada mereka sendiri.

Media sosial memperparah luka ini. Platform digital membalik tatanan bisnis jurnalisme global. Dulu distribusi berita dikontrol oleh redaksi, kini dikontrol oleh klik dan waktu tonton.

Influencer bisa bicara sesuka hati tanpa Dewan Pers, tanpa hak jawab, tanpa konsekuensi etis. Dan, sialnya, audiens justru menyukainya. Mereka merasa dekat dengan wajah manusia yang ekspresif, bukan dengan logo korporasi media yang kaku. Akurasi tak lagi seksi ketika opini bisa dikonsumsi seperti hiburan.

Sekarang, hanya pemerintah yang masih “terpaksa” berurusan dengan media konvensional, karena aturan administrasi anggaran mengharuskan kerja sama formal.

Coba bayangkan jika nanti APBN dan APBD memperbolehkan transaksi dengan individu atau entitas non-media. Media akan benar-benar kehilangan tiang penopang terakhirnya.

Bukan karena publik tak peduli berita, melainkan karena publik sudah tak percaya siapa pun yang menyebut dirinya “media.”
Jadi, apakah solusi “membangun ekosistem kredibilitas” realistis?

Tidak sepenuhnya. Kolaborasi lintas pihak terdengar seperti paduan suara, tapi kenyataannya semua penyanyi ingin jadi solois. Industri ini tidak kekurangan niat baik; yang kurang adalah kesamaan insentif.

Media ingin bertahan, influencer ingin dikenal, pemerintah ingin dipuji, publik ingin terhibur. Mereka tidak akan bersatu dalam satu meja kerja. Tapi mereka bisa diajak bermain di papan yang sama—asal aturannya jelas dan konsekuensinya nyata.
Maka yang diperlukan bukan kesatuan, melainkan keseimbangan. Semua pihak harus tahu risikonya masing-masing.

Baca Juga:  Adegan Panas Dian Sastro di Film Gadis Kretek

Pertama, media massa harus berhenti menganggap diri sebagai menara gading kebenaran. Dunia sudah berubah. Jika ingin tetap relevan, mereka perlu menciptakan produk yang berbasis kepercayaan, bukan sekadar berita cepat. Berinvestasilah pada trust product—liputan mendalam, riset berbasis data, dan storytelling yang manusiawi.

Wartawan perlu jadi pembuat makna, bukan sekadar penyalur informasi. Kalau memang publik sudah enggan membaca, ya sudah, beralihlah ke format yang disukai publik—tanpa mengorbankan integritas. Crowdfunding dan model langganan bisa jadi jalan tengah antara idealisme dan kelangsungan hidup.

Kedua, homeless media tak bisa terus dibiarkan beroperasi tanpa tanggung jawab. Mereka perlu diakui eksistensinya, tapi juga diawasi.

Tak perlu dibungkam, cukup diminta transparan: dari mana berita diambil, siapa pendana mereka, dan bagaimana proses verifikasi dilakukan. Kalau mereka mau disebut “media,” maka beban etik juga harus melekat.

Ketiga, influencer juga harus jujur pada penontonnya. Dunia sudah tahu bahwa endorsement adalah bentuk kerja sama bisnis, tapi publik berhak tahu kapan mereka sedang mendengar opini dan kapan mereka sedang mendengar iklan. Influencer yang menjaga kejujuran ini justru akan lebih dipercaya.

Keempat, pemerintah harus berhenti memperlakukan media sebagai toa kebijakan. Komunikasi publik bukan soal “mengumumkan keberhasilan,” tapi soal membangun kepercayaan warga terhadap niat baik pemerintah.

Uang publik seharusnya tidak dibelanjakan untuk menebar pencitraan. Bayarlah impact, bukan placement.
Jika perlu, bentuk lembaga penilai independen yang bisa mengaudit efektivitas setiap rupiah belanja komunikasi publik, termasuk kerja sama dengan kreator konten. Pemerintah punya hak untuk didengar, tapi publik juga punya hak untuk tidak ditipu.

Kelima, publik sendiri harus naik kelas. Literasi media di Indonesia terlalu berhenti di level “bisa membedakan hoaks.” Padahal tantangan hari ini bukan hoaks, melainkan manipulasi setengah benar.

Ini semacam informasi yang tampak sahih tapi dipelintir sedikit untuk menggiring emosi. Orang pintar pun bisa jadi korban kalau tidak belajar berpikir kritis. Maka pendidikan media mestinya bukan lagi soal “cek fakta,” melainkan soal “cek motif.”

Baca Juga:  MPLS sebagai Tren Media Sosial: Antara Edukasi, Eksistensi, dan Batasan Hukum

Dalam kondisi seperti ini, ekosistem kredibilitas tidak akan dibangun lewat kesepakatan besar. Ia hanya bisa tumbuh dari gesekan, dari ketegangan yang sehat antara kepentingan.

Media menekan influencer agar lebih etis, influencer menekan media agar lebih komunikatif, publik menekan pemerintah agar transparan, pemerintah menekan media agar akurat.

Saling curiga, tapi saling menyeimbangkan. Itulah cara sistem demokrasi bertahan di tengah banjir informasi.

Barangkali, kita tidak sedang menuju ekosistem kredibilitas, tapi menuju ekologi skeptisisme. Dan itu tidak apa-apa. Skeptisisme membuat publik berhati-hati, membuat media bekerja lebih teliti, dan membuat influencer berpikir dua kali sebelum bicara. Dunia tidak lagi butuh media yang sempurna, tapi media yang bisa dipertanggungjawabkan.

Kita sudah melihat apa yang terjadi ketika “kebebasan” tidak diimbangi dengan tanggung jawab. Media sosial berubah jadi pasar emosi, tempat orang membayar perhatian dengan kemarahan.

Jika jurnalisme ingin bertahan, ia harus merebut kembali peran yang lebih tinggi: bukan sebagai penjaga informasi, tapi sebagai penjaga makna. Karena di tengah ribuan suara yang berteriak, hanya sedikit yang mau mendengarkan dengan niat memahami.

Jadi, bukan soal menyatukan industri yang retak, tapi soal menanam ulang akar yang membuatnya layak dipercaya. Media yang kecil tapi jujur lebih berguna daripada yang besar tapi busuk.

Influencer yang transparan lebih berharga daripada yang pandai berakting. Pemerintah yang mau dikritik lebih berdaya daripada yang sibuk membuat framing. Publik yang cerdas lebih berbahaya bagi kebohongan daripada seribu algoritma.

Mungkin dunia media memang tak akan kembali seperti dulu. Tapi barangkali, justru dari reruntuhan itulah muncul generasi baru jurnalis, kreator, dan pembaca yang sadar: bahwa kebenaran bukan barang dagangan, melainkan komitmen bersama untuk tidak menipu, bahkan ketika itu terasa lebih menguntungkan.

**Cek berita dan artikel terbaru di GOOGLE NEWS dan ikuti WhatsApp Channel