Hibata.id – Kisruh pemecatan Siti Magfirah Makmur, dosen Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Gorontalo (UMGO), kian membingungkan. Ketua Badan Pembina Harian (BPH) UMGO, Yusnan Ekie, justru menguatkan klaim Magfirah bahwa konten podcast yang menjadi alasan pemecatan telah mendapat restu dari dirinya.
Pernyataan itu disampaikan Yusnan kepada Hibata.id, pada Rabu (22/10/2025). Ia mengaku telah memberikan izin kepada Magfirah untuk memproduksi dan mengunggah podcast yang menampilkan mahasiswi HP—korban kasus di asrama kampus—sebagai upaya memulihkan nama baik sang mahasiswi.
“Tujuan Fira adalah membersihkan nama anak ini dengan menghadirkannya dalam podcast untuk membuktikan bahwa ia tidak mengalami gangguan jiwa, seperti yang disangkakan banyak orang,” jelas Yusnan. Bahkan, ia menyarankan agar podcast juga melibatkan narasumber profesional dari kalangan psikolog.
Pengakuan tersebut menguatkan bahwa kritik yang disampaikan Magfirah berangkat dari pembelaan terhadap mahasiswi yang menjadi korban perundungan, serta telah diketahui dan disetujui oleh BPH. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai narasi “pencemaran nama baik” yang dilontarkan Rektorat sebelumnya.
Artinya, apa yang disampaikan Yusnan ini membenarkan klaim Magfirah terkait prosedur dan niat di balik pembuatan podcast tersebut. Pengakuan ini juga sekaligus mematahkan dalih awal dari Rektorat yang menyebut Magfirah menyebarkan informasi internal tanpa izin dan mencemarkan nama baik institusi.
Yusnan juga menyinggung kekacauan dalam pengambilan keputusan internal. Ia menyatakan bahwa Surat Keputusan (SK) Pemberhentian Tetap terhadap Magfirah dikeluarkan tanpa sepengetahuannya. SK tersebut menyusul SK Pemberhentian Sementara dari Rektor Kadim Masaong, yang ternyata juga bermasalah secara prosedural.
“Saat itu saya memiliki agenda lain dan tidak bisa hadir, namun keputusan tetap diambil,” ujarnya. Pernyataan ini mengesankan bahwa keputusan pemecatan dibuat secara tergesa-gesa dan terkesan otoriter.
Namun yang paling mengejutkan adalah alasan BPH dalam mengesahkan pemecatan Magfirah. Meski mengakui Magfirah mendapat izin dan menyoroti kelemahan prosedur, BPH tetap mengambil kebijakan menandatangani pemecatan dengan alasan-alasan yang terkesan sepele dan subjektif.
Misalnya, soal masalah sapaan. Magfirah dianggap tidak sopan karena menyebut nama Rektor secara langsung tanpa sapaan formal yang dianggap layak. Selain itu masalah mengajak kritik. Magfirah dianggap bersalah karena mengajak mahasiswa dan masyarakat untuk menyuarakan kritik terhadap kampus.
Keputusan BPH ini mengindikasikan bahwa masalah sesungguhnya di UMGO bukan terletak pada kritik yang diungkap, melainkan pada ketidakmauan pimpinan kampus untuk menerima kritik dan perbedaan pandangan, yang kini dibungkus rapi dengan dalih “citra kampus”. Kritik yang semula untuk membela mahasiswi justru berujung pada pemecatan dosen yang bersuara.
Menanggapi pemecatan tersebut, Magfirah telah menyiapkan langkah hukum. Ia berencana menggugat pihak kampus ke meja hijau, dengan somasi sebagai tahap awal perlawanan terhadap otoritas kampus yang dinilai semena-mena. Sementara, kampus terus bersikuku bahwa Magfirah telah mencemari nama baik kampus.
Klaim Rektor

Sebelumnya, Rektor UMGO, Kadim Masaong mengumumkan, telah memberhentikan dengan status tidak hormat kepada dosen Fakultas Hukum, Siti Magfirah Makmur, dalam konferensi pers yang digelar di kampus, Selasa (21/10/2025).
Selain itu, Kadim juga membantah tegas latar belakang insiden yang menimpa seorang mahasiswi, serta mengancam akan memberikan sanksi skorsing kepada mahasiswi yang bersangkutan jika kembali menyebarkan informasi yang merugikan institusi.
“Mulai hari ini, Siti Magfirah Makmur diberhentikan dengan tidak hormat sebagai dosen tetap Program Studi Ilmu Hukum,” ujar Kadim dalam pernyataannya.
Pemberhentian tersebut dipicu oleh tindakan Magfirah yang dianggap mencemarkan nama baik kampus setelah mempublikasikan isu yang dianggap merusak citra universitas. Menurut Kadim, Magfirah telah melakukan kesalahan berulang kali selama bertugas di kampus.
Tak hanya kehilangan statusnya sebagai dosen, Magfirah juga harus menanggung sanksi finansial. Rektor mengumumkan pencabutan beasiswa program doktoral yang tengah ditempuh Magfirah di Malaysia.
“Kami mengusulkan pencabutan beasiswa kepada Majelis Tinggi PP Muhammadiyah, karena yang bersangkutan bukan lagi dosen UMGO,” kata Kadim. Selain itu, Magfirah diberikan waktu satu bulan untuk mengembalikan seluruh biaya beasiswa yang sudah diterimanya.
Polemik ini berawal dari insiden yang menimpa seorang mahasiswi berinisial HP, yang ditemukan dalam kondisi tidak sadarkan diri di balkon asrama kampus pada Kamis malam, 2 Oktober 2025.
Kasus ini menjadi viral setelah pihak pengelola asrama diduga memaksa HP untuk membuat klarifikasi publik bahwa kejadian itu hanya “iseng.”
Magfirah yang dikenal sebagai pembela kelompok terpinggirkan, kemudian mempublikasikan versi korban melalui podcast, di mana HP mengungkapkan bahwa ia memang dalam kondisi tidak sadarkan diri.
Dalam podcast itu juga, HP juga membantah narasi “iseng” yang dipaksakan kampus. Tindakan tersebut kemudian dipandang sebagai tindakan yang mencemarkan nama baik UMGO.
Namun, Rektor Kadim Masaong membantah keras spekulasi penyebab insiden tersebut. Berdasarkan hasil tes psikologi resmi kampus, insiden bukan disebabkan tekanan eksternal maupun kesurupan, melainkan akibat masalah pribadi yang berkaitan dengan keluarga mahasiswi.
“Kasus di asrama bukan karena tekanan atau kerasukan, tapi masalah pribadi terkait keluarganya,” tegas Kadim.
Kadim juga menjelaskan sikap kampus terhadap mahasiswi HP. UMGO telah memberikan teguran keras agar mahasiswi tidak lagi menyebarkan informasi yang dapat merusak citra kampus.
“Jika diulangi, kami akan menjatuhkan skorsing satu semester,” pungkas Kadim.













