Scroll untuk baca berita
Lingkungan

Kilas Balik Tambang Ilegal Dengilo: Alam, Uang, Politik dan Sandiwara

Avatar of Hibata.id✅
×

Kilas Balik Tambang Ilegal Dengilo: Alam, Uang, Politik dan Sandiwara

Sebarkan artikel ini
Aktivitas tambang emas tanpa izin alias PETI di Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo/Hibata.id
Aktivitas tambang emas tanpa izin alias PETI di Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo/Hibata.id

Hibata.id – Aktivitas tambang emas tanpa izin (PETI) di Kecamatan Dengilo, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, seolah menertawakan hukum.

Puluhan alat berat jenis excavator terus bekerja siang malam di Desa Popaya, menggerus tanah demi butiran emas yang menguap bersama kepercayaan publik.

Scroll untuk baca berita
Screenshot 2025 11 09 100541

Yang ironis, aktivitas ilegal ini berjalan tak lama setelah pemerintah daerah mengumumkan “penutupan sementara” seluruh tambang di wilayah itu. Rapat sudah digelar, keputusan sudah ditandatangani, tapi suara mesin tambang tetap meraung.

“PETI Popaya terus beroperasi menggunakan lebih dari sepuluh alat berat,” kata seorang sumber kepada Hibata.id, Minggu (5/10/2025).

Formalitas Bernama Rapat Lintas Sektor

Rabu, 18 Juni 2025, menjadi hari yang seharusnya menandai ketegasan negara. Pemerintah Kabupaten Pohuwato menggelar rapat lintas sektor di Kantor Camat Dengilo.

Dipimpin Wakil Bupati Iwan S. Adam, rapat itu menghasilkan keputusan tegas: semua tambang ditutup hingga batas waktu yang belum ditentukan.

Alasannya tak main-main — kekhawatiran soal lingkungan dan kesehatan masyarakat. Peemerintah Pohuwato mencatat 48 kasus malaria, yang diduga kuat muncul dari kubangan bekas tambang yang menjadi tempat nyamuk berkembang biak.

Baca Juga:  Tambang Ilegal di Dopalak Paleleh Gunakan Alat Berat, Ancam Kerusakan Lingkungan

“Tambang ilegal ini dilematis. Dilarang tidak, dibiarkan juga tidak. Tapi yang paling penting, semua pihak harus bertanggung jawab menekan dampak buruknya. Jangan sampai pemerintah harus turun dengan tindakan tegas karena fasilitas umum ikut rusak,” ujar Iwan dalam rapat itu.

Rapat tersebut dihadiri lengkap: TNI/Polri, Kesbangpol, Dinas Lingkungan Hidup, kepala desa, tokoh adat, hingga organisasi penambang.

Semuanya sepakat bahwa tambang harus dikendalikan. Tapi seperti banyak kesepakatan lain di republik ini, hasilnya berhenti di meja rapat.

Koordinasi Macet, Hukum Mandek

Camat Dengilo, Nakir Ismail, bahkan tak tahu lagi kepada siapa harus bicara.

“Entah kepada siapa kami harus meminta informasi dan berkoordinasi,” katanya, dalam notulen yang ia tandatangani sendiri.

Sementara Ketua Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Pohuwato, Limonu Hippy, kala itu menyebut bahwa DPRD lewat Komisi II sudah membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk mengkaji persoalan tersebut.

“Kalau ingin dapat respons positif dari pemerintah, pelaku tambang harus menjaga fasilitas umum,” ujarnya.

Sedangkan DLH menegaskan, semua aktivitas tambang wajib mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2025 agar tak merusak lingkungan.

Baca Juga:  Darurat Malaria di Pohuwato, Tapi PETI Seperti Badut yang Menari-nari

Kesbangpol Pohuwato juga sama, setiap aktivitas keluar-masuk penambang wajib dilaporkan dalam 1×24 jam dan harus menghormati hukum adat setempat.

Beberapa kepala desa bahkan lebih progresif. Kepala Desa Padengo meminta tambang di dekat fasilitas umum segera ditutup, sementara Kepala Desa Karya Baru mengusulkan pembentukan pos pengawasan di pintu masuk tambang.

Sayangnya, semua saran tinggal wacana. Di lapangan, ekskavator tetap bekerja, sungai tetap keruh, dan hukum tetap tumpul.

Negara yang Diam di Hadapan Cukong

Kapolsek Paguat memang sempat mengingatkan bahwa aktivitas tambang harus dilaporkan, tapi kewenangan polisi di sana terbatas.

Sementara Danpos Komando Rayon Militer 1313-01 Paguat memilih jalur lunak: menata ulang agar penambang “memahami aturan”.

Padahal, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba sudah jelas — Pasal 158 menyebut siapa pun yang menambang tanpa izin dapat dipidana. Tapi di Dengilo, pasal itu seperti tulisan di udara: ada, tapi tak berdaya.

Rencana pemerintah daerah untuk menimbun lubang tambang, memperbaiki fasilitas umum, dan menormalisasi sungai juga tak pernah terlaksana. Semua hanya tercatat dalam risalah rapat yang kini sudah berdebu di laci birokrasi.

Baca Juga:  Tambang Dekat Sekolah, DPRD Pohuwato Desak Bupati Tindak Pani Gold

Dengilo, Potret Mini Negara yang Lelah Menegakkan Hukum

Kisah Dengilo bukan cuma tentang emas, tapi tentang ketidakmampuan pemerintah daerah menegakkan aturan yang mereka buat sendiri. Tentang aparat yang tahu tapi tak bertindak. Tentang pejabat yang bicara keras di forum, tapi diam di lapangan.

Masyarakat kini tak lagi bertanya kapan tambang ditutup, tapi kapan pemerintah berhenti berpura-pura.?

Pemerintah daerah sudah tahu lokasinya, aparat juga tahu pelakunya, tapi sampai sekarang tak ada tindakan nyata.

Hampir semua aktivis lingkungan pun menegaskan hal serupa. Pemerintah harus berhenti bersandiwara. Kalau memang serius ingin menertibkan PETI, tunjukkan dengan tindakan, bukan hanya rapat dan seruan.

Tanah dan sungai di Dengilo kini menanggung dosa kolektif. Setiap kubangan tambang adalah cermin dari negara yang gamang menegakkan hukum.

Dan jika pemerintah terus berdiam diri, maka yang tumbuh bukan kemakmuran — melainkan ketidakpercayaan.

**Cek berita dan artikel terbaru di GOOGLE NEWS dan ikuti WhatsApp Channel