Scroll untuk baca berita
LingkunganHeadline

Koalisi Masyarakat Sipil Desak Revisi UU Kehutanan agar Transparan

Avatar of Hibata.id✅
×

Koalisi Masyarakat Sipil Desak Revisi UU Kehutanan agar Transparan

Sebarkan artikel ini
Hutan alam sudah terbabat untuk jadi proyek hutan tanaman energi di Gorontalo. Foto: FWI/Hibata.id
Hutan alam sudah terbabat untuk jadi proyek hutan tanaman energi di Gorontalo. Foto: FWI/Hibata.id

Hibata.id – Koalisi Masyarakat Sipil Advokasi UU Kehutanan mendesak Panitia Kerja revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bersikap transparan dan membuka ruang partisipasi publik.

Dorongan ini muncul di tengah momentum 80 tahun kemerdekaan Indonesia, ketika rakyat menuntut keadilan agraria dan ekologis.

Juru bicara Koalisi dari Indonesia Parliamentary Center, Arif Adi Putro, menegaskan proses revisi UU Kehutanan yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2024–2029 masih jauh dari prinsip keterbukaan.

Menurut dia, konsultasi telah digelar tiga kali, namun dua di antaranya berlangsung tertutup tanpa dokumentasi publik maupun rekaman resmi di kanal YouTube parlemen.

“Publik tidak tahu apa yang dinegosiasikan Komisi IV DPR dengan asosiasi pengusaha. Dokumen rancangan undang-undang pun tidak dibuka, sementara forum dengan masyarakat sipil sangat terbatas. Proses legislasi ini jauh dari prinsip partisipasi bermakna,” ujarnya di Jakarta, Minggu (17/8).

Arif menambahkan, Koalisi menolak jika revisi UU Kehutanan tiba-tiba disahkan tanpa keterlibatan publik. Ia menilai, risikonya masyarakat adat dan petani bisa kehilangan kebun, rumah, hingga hutan yang diklaim sepihak sebagai kawasan negara.

Baca Juga:  Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Ranah Juang Lestari Membuat Berbagai Kegiatan

Aktivis Rendi Oman Gara dari Perkumpulan HuMa mempertanyakan, apakah bangsa Indonesia benar-benar merdeka setelah 80 tahun lepas dari penjajahan. Menurutnya, politik hukum kehutanan masih mewarisi sistem kolonial yang menempatkan negara sebagai pemilik mutlak hutan.

“Penjajahan bermula ketika kolonial merebut hutan sebagai sumber agraria, menetapkan seluruh tanah sebagai milik negara. Pola itu masih bertahan hingga kini, rakyat diusir dari hutan dan hukum adat diabaikan,” kata Rendi.

Ia menegaskan Pasal 33 UUD 1945 memberikan mandat kepada negara hanya untuk mengatur, bukan memiliki tanah dan hutan. Karena itu, Hak Menguasai Negara (HMN) tidak boleh ditempatkan lebih tinggi dari hak rakyat.

UU Kehutanan Dinilai Menyimpang

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, menyebut selama 26 tahun implementasi UU Kehutanan justru menyengsarakan rakyat. Negara, kata dia, bertindak seolah pemilik tunggal hutan dengan mengobral izin konsesi skala besar kepada korporasi, sehingga petani, masyarakat adat, dan perempuan tersingkir dari sumber kehidupan.

Baca Juga:  PETI di Bulangita: Kejahatan Lingkungan yang Tak Terkendali

“UU Kehutanan gagal memerdekakan rakyat, justru mengeksklusi mereka dari tanah. Ini harus diubah secara paradigmatik,” tegas Dewi.

Sementara itu, Tsabit Khairul Auni, pengkampanye Forest Watch Indonesia (FWI), menilai UU Kehutanan masih mewarisi asas domein verklaring era kolonial. Data FWI 2025 mencatat, 65,26 persen daratan dan perairan Indonesia diklaim sebagai kawasan hutan negara tanpa keterbukaan proses penunjukan maupun penetapan.

“Deforestasi masih tinggi, rata-rata 2,01 juta hektare per tahun pada 2017–2023. Hak rakyat diabaikan, sementara bencana ekologis meningkat. Ini bukti tata kelola hutan gagal memerdekakan rakyat,” jelasnya.

Peneliti MADANI Berkelanjutan, Sadam Afian Richwanudin, mengungkapkan bahwa pada 2024 saja hutan yang hilang mencapai 216 ribu hektare, sementara kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sudah melahap 115 ribu hektare, termasuk kawasan gambut.

Baca Juga:  Menguak Dugaan Campur Tangan Kades di Tambang Ilegal Dengilo

“Rakyat kehilangan hak atas lingkungan hidup yang sehat sebagaimana dijamin Konstitusi. Konsideran UU Kehutanan tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan,” tegas Sadam.

Hal senada disampaikan Nora Hidayati dari Perkumpulan HuMa. Ia menyoroti lemahnya fungsi pengawasan dalam UU Kehutanan. Menurutnya, tanpa pengawasan efektif, rakyat sulit dilindungi dan lingkungan semakin rentan eksploitasi.

“Revisi UU Kehutanan harus memastikan hutan dilihat sebagai penopang kehidupan, bukan sekadar objek eksploitasi,” katanya.

Koalisi Masyarakat Sipil menilai, bagi petani, masyarakat adat, nelayan, dan perempuan, kemerdekaan berarti terbebas dari perampasan tanah dan hutan. Karena itu, akses dan kontrol atas hutan harus diberikan secara adil kepada komunitas lokal.

“Di usia 80 tahun kemerdekaan, negara harus membebaskan rakyat dari konflik agraria, kerusakan lingkungan, dan kriminalisasi. Revisi total UU No. 41/1999 adalah jalan menuju keadilan agraria dan ekologis,” demikian pernyataan Koalisi.

**Cek berita dan artikel terbaru di GOOGLE NEWS dan ikuti WhatsApp Channel