Hibata.id – Sebagai wujud nyata pelestarian satwa endemik dan penghormatan terhadap warisan adat Batui, Konau Institut bekerja sama dengan Pemerintah Kelurahan Tolando resmi meluncurkan Wilayah Konservasi Maleo Sambal (KMS) pada Selasa (13/5/2025) di Bungin Sambal, Kelurahan Tolando, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai.
Peresmian ini ditandai dengan penanaman simbolik dua telur burung maleo oleh tokoh adat Daka’nyo Tolando dan Binsilo Balantang, serta penanaman 115 pohon kemiri oleh Lurah Tolando bersama seluruh peserta. Penanaman ini menjadi simbol harapan akan keberlanjutan dan perlindungan lingkungan untuk generasi mendatang.
Acara diawali dengan pembacaan dan penandatanganan Piagam KMS, yang disaksikan oleh perangkat adat Batui, lembaga adat, pemuda, dan masyarakat setempat. Piagam tersebut memuat lima komitmen utama: menetapkan wilayah Bungin Sambal sebagai kawasan konservasi untuk perlindungan burung maleo dan ekosistemnya.
Selain itu, piagam tersebut memuat lima komitmen terkait; melindungi habitat maleo dari perambahan, perburuan, pertambangan, dan aktivitas perusak lainnya; mengelola kawasan secara partisipatif dengan berbasis pada kearifan lokal.
Juga menguatkan peran lembaga adat, perangkat adat, masyarakat adat, dan pemuda dalam menjaga hutan dan alam; dan Menjadikan piagam ini sebagai acuan resmi bagi semua pihak — termasuk pemerintah, aparat, dan lembaga pembangunan — untuk menghormati nilai-nilai adat dan prinsip konservasi dalam setiap kegiatan di wilayah ini.
Dalam sambutannya, Lurah Tolando, Budiarto K. Abdurahman menegaskan bahwa pelestarian burung maleo bukan semata isu lingkungan, tetapi juga bagian dari identitas dan kehormatan masyarakat adat Batui.
“Saya mengajak seluruh masyarakat untuk bersatu menjaga habitat burung maleo. Tanpa dukungan kita semua, kelangsungan hidup satwa ini akan terancam,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan apresiasi kepada Konau Institut dan seluruh pihak yang telah berkontribusi, menyebut kegiatan ini sebagai bagian dari amanah para leluhur.
Sementara itu, Ketua Panitia Pelaksana, Ahmad Yasin Siyah, menegaskan bahwa peluncuran wilayah konservasi ini adalah langkah awal dari komitmen masyarakat Batui dalam menjaga kelestarian burung maleo dan ekosistemnya di atas tanah adat yang diwariskan turun-temurun.
“Ini bukan sekadar pelestarian satwa, tetapi penghormatan atas warisan leluhur yang telah mengakar dalam jiwa kami. Menjaga kehidupan burung maleo di tanah adat Batui adalah kewajiban kami sebagai penerus dan penjaga adat,” ungkapnya penuh semangat.
Acara berlangsung dari pukul 08.00 hingga selesai, mencakup rangkaian kegiatan mulai dari registrasi tamu, laporan panitia, sambutan para pejabat dan tokoh adat, hingga prosesi penanaman dan ramah tamah dengan warga.
Peresmian Wilayah Konservasi Maleo Sambal ini menjadi tonggak penting dalam gerakan pelestarian ekologis berbasis adat di Sulawesi Tengah, sekaligus menandai kebangkitan kesadaran kolektif masyarakat Batui dalam menjaga ruang hidupnya secara bermartabat dan berkelanjutan.