Hibata.id – Lapangan Taruna Remaja malam itu penuh sesak. Langit bersih membingkai wajah-wajah antusias para peserta dan penonton yang memadati arena pembukaan Seleksi Tilawatil Qur’an dan Hadis (STQH) Tingkat Kota Gorontalo, Ahad, 27 April 2025. Di atas mimbar kehormatan, Wali Kota Gorontalo, Adhan Dambea, berdiri dengan nada suara yang mantap—lebih mirip orasi ketimbang sambutan seremonial.
“STQH ini bukan sekadar lomba,” ujarnya, membuka sambutan. “Ini adalah ikhtiar membentuk generasi Qurani yang hidup dengan nilai-nilai Al-Qur’an dan Hadis.”
Bagi Adhan, STQH adalah lebih dari urusan merdu suara dan hafalan ayat. Ia menyebut kegiatan itu sebagai bagian dari proyek besar pembangunan karakter umat—sebuah proses panjang membentuk masyarakat yang menjadikan nilai-nilai ilahiah sebagai fondasi hidup, bukan sekadar bacaan untuk kompetisi.
“Yang kita cari bukan cuma qori dan qoriah berprestasi, tapi pribadi-pribadi yang dalam ucapan dan perbuatannya memantulkan cahaya Al-Qur’an,” tegasnya.
Nada pidato Adhan kental dengan pesan moral dan tanggung jawab kolektif. Ia mengingatkan, jangan sampai tilawah hanya berhenti di panggung lomba. Sebab, Al-Qur’an dan Hadis, menurutnya, adalah sumber kebijaksanaan—peta jalan spiritual yang membimbing manusia mengenali baik dan buruk, hak dan batil.
Salah satu langkah konkret yang disampaikannya adalah kebijakan baru yang akan mulai diterapkan pada 2026: seluruh siswa SD di Gorontalo wajib memiliki sertifikat bisa membaca Al-Qur’an sebelum melanjutkan ke SMP. Kebijakan ini, kata Adhan, bukan sekadar administratif, tapi strategi membangun fondasi moral generasi muda.
“Kalau kita ingin melahirkan pemimpin berakhlak mulia, semua harus dimulai dari rumah, dari kecil. Anak-anak harus dibiasakan mengaji setiap hari,” ujarnya.
Adhan juga mewanti-wanti kepada dewan hakim agar menjaga integritas. Penilaian, katanya, harus objektif—tanpa intervensi, tanpa kepentingan. “Mereka yang tampil di panggung ini adalah calon-calon kader Qurani. Keberkahan daerah ini bisa jadi bergantung pada ketulusan dan keadilan kita menilai mereka.”
Tak ada janji bombastis. Tak juga basa-basi. Pidato Adhan adalah cermin dari satu hal: ia memandang STQH sebagai bagian dari perlawanan diam terhadap kemerosotan nilai dalam masyarakat.
Dalam nadanya, terselip harapan agar panggung tilawah tak menjadi ajang tahunan belaka, tapi lonceng pengingat bahwa membentuk manusia unggul—beriman dan berilmu—adalah pekerjaan utama yang tak pernah selesai.