Hibata.id – Kabupaten Pohuwato yang kaya sumber daya alam di Provinsi Gorontalo ini kini menghadapi krisis ganda: lingkungan yang rusak dan wabah malaria yang mengancam nyawa. Di balik gemuruh mesin tambang emas ilegal yang bekerja tanpa henti, muncul ancaman mematikan yang semakin sulit dibendung: nyamuk malaria yang berkembang biak di lubang-lubang bekas galian tambang tanpa reklamasi.
Sejak 2023 hingga awal 2025, tercatat 1.882 kasus malaria di Pohuwato. Lonjakan ini berbanding lurus dengan maraknya aktivitas tambang ilegal yang tak hanya menghancurkan ekosistem, tetapi juga menciptakan lahan ideal bagi nyamuk Anopheles, vektor utama penyebar malaria.
Kecamatan Marisa dan Buntulia menjadi titik panas dengan jumlah kasus tertinggi, masing-masing 372 dan 370 kasus. Taluditi, Duhiadaa, dan Dengilo juga menunjukkan peningkatan signifikan. Tak ada satu pun kecamatan yang benar-benar bebas dari dampak pertambangan dan penyebaran penyakit.
Aswad Lihawa, aktivis lingkungan yang telah lama mengawal isu ini, menyebut negara gagal melihat keterkaitan antara tambang ilegal dan meningkatnya kasus malaria. Menurutnya, kalau kubangan-kubangan itu terus dibiarkan, jangankan sepuluh tahun, selamanya masyarakat akan terjebak dalam siklus penyakit.
“Kita sibuk perang melawan malaria, tapi membiarkan sumbernya tetap hidup,” ujarnya.
Aswad menekankan bahwa genangan air di bekas galian tambang menjadi tempat berkembang biak nyamuk saat musim hujan. Sementara pemerintah gencar membagikan kelambu, menyemprot insektisida, dan mengadakan kampanye kesehatan. Menurutnya, semua itu hanya menyentuh permukaan masalah.
“Tidak ada yang menyentuh akar persoalan: pertambangan yang dibiarkan merusak tanah dan menciptakan habitat baru untuk penyakit,” tambahnya.
Dari Balayo (Patilanggio) hingga Desa Hulawa (Buntulia), Botubilotahu, dan Marisa, ekskavator terus bekerja. Lubang-lubang besar penuh air dan rusaknya vegetasi adalah warisan yang ditinggalkan. “Yang tersisa hanyalah kubangan penderitaan,” kata Aswad.
Tak hanya dari sisi kesehatan, tambang ilegal juga merugikan secara ekonomi. Negara tak mendapat satu rupiah pun, sementara anggaran untuk penanganan malaria dan pemulihan lingkungan terus membengkak.
“Negara bukan hanya dirugikan, tapi dipermalukan. Ini adalah kegagalan pengawasan, penegakan hukum, dan perlindungan rakyat,” tegas Aswad. Ia juga mengkritik keras simbolisme pemerintah dalam menangani isu kesehatan.
“Pemerintah datang, pasang spanduk, foto-foto, lalu pergi. Tapi tambang tetap jalan, penyakit tetap menyebar. Kalau begini terus, kita hanya mengubur rakyat dengan program kosong,” ucapnya.
Aswad menantang para pemimpin daerah untuk menunjukkan keberpihakan nyata, bukan sekadar retorika. “Apakah kita harus menunggu sampai malaria tak terkendali dan jadi krisis nasional baru pemerintah bergerak?” ujarnya.
Ia menjelaskan, malaria bukan sekadar penyakit, tapi cermin dari rusaknya lingkungan, sosial, dan tata kelola pemerintahan. Jika hari ini tidak ada tindakan, maka pemda sedang menyerahkan masa depan Pohuwato ke tangan penyakit dan kehancuran.
Kasus malaria di Pohuwato bukan semata soal medis. Ini adalah bukti dari pembiaran terhadap tambang ilegal, pengabaian terhadap lingkungan, dan absennya negara di tempat di mana ia paling dibutuhkan.
“Pohuwato butuh penyelamatan, bukan lagi janji,” pungkasnya.