Oleh: Mohamad Zachary Rusman (Alumni Magister Hukum Universitas Trisakti )
Tulisan ini di dorong oleh kegelisahan penulis terhadap perdebatan pemanfaatan trotoar sebagai kegiatan ekonomi, yang terjadi: baik di level institusi pemerintahan daerah hingga dilingkungan akademis.
Pada level pemerintahan daerah, perdebatan terjadi antara Pemerintah Provinsi Gorontalo yang berupaya menertibkan aktivitas perdagangan di atas trotoar karena dianggap mengganggu fungsi utama jalur pejalan kaki mendapat tanggapan berbeda dari Pemerintah Kota Gorontalo yang justru memberikan ruang bagi masyarakat untuk memanfaatkan trotoar sebagai tempat berjualan, karena untuk mendukung pertumbuhan ekonomi lokal dan melindungi kegiatan usaha masyarakat.
Ketegangan ini menggambarkan terjadinya fragmentasi pemerintahan (governmental fragmentation) antara dua level pemerintahan, yakni provinsi dan kota. Kondisi tersebut menunjukkan tidak optimalnya koordinasi antarpemerintah daerah.
Jika duduk masalahnya ditempatkan pada aspek kewenangan terhadap penyelenggaraan jalan, maka pemerintah provinsi dan pemerintah kota, keduanya memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan jalan. Tetapi yang membedakan adalah status jalan, jika jalan tersebut merupakan jalan provinsi maka kewenangannya berada pada pemerintah provinsi dalam melakukan penyelenggaraan jalan.
Pun sebaliknya, jika jalan tersebut merupakan jalan kota maka kewenangannya berada pada pemerintah kota. Demikian yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Sehingganya tidak ada yang keliru atas kebijakan Pemerintah Provinsi Gorontalo untuk menertibkan aktivitas jual-beli di atas trotoar yang menggunakan jalan provinsi karena mengganggu fungsi utama trotoar. Di sisi lain, secara sosiologis trotoar seringkali berperan ganda baik sebagai ruang publik maupun sebagai ruang ekonomi masyarakat.
Adanya aktivitas jual-beli di atas trotoar mencerminkan kebutuhan ekonomi masyarakat yang menghadapi keterbatasan akses terhadap ruang usaha formal. Pada sisi inilah, alasan penolakan dari Walikota Gorontalo terhadap kebijakan tersebut menemukan titik pijaknya.
Pada level akademik, perdebatan muncul dari pegiat dan analisis hukum daerah. Release yang dikeluarkan oleh Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara dengan mendasarkan kajiannya pada aspek formal peraturan perundang-undangan negara, sejatinya telah menggambarkan bagaimana trotoar harus difungsikan sebagaimana mestinya dengan memberikan rekomendasi dalam pemanfaatan trotoar secara inklusif, humanis, dan berkelanjutan.
Release akademik ini kemudian mendapatkan reaksi untuk membenarkan penggunaan trotoar di luar fungsi utamanya. Sayangnya reaksi yang diberikan terlalu cepat sehingga kehilangan ruh akademisnya.
Berbagai ketentuan yang menjadi dasar pijakan APHTN-HAN dalam memberikan rekomendasi akademik justru dipagari oleh pihak lain hanya dengan menggunakan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 03/PRT/M/2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan sebagai basis argumentasinya. Dan, secara berulang menggunakan peraturan ini untuk membenarkan pendapatnya dengan menfasirkan sebuah ketentuan yang secara terang benderang tidak perlu lagi diperdebatkan.
Penafsiran sepihak terhadap peraturan menteri tanpa memperhatikan prasyarat teknis tersebut dapat menimbulkan legal misconception, yakni kesalahan dalam memahami ruang lingkup norma hukum.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 03/PRT/M/2014 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan memang membuka ruang bagi Kegiatan Usaha Kecil Formal (KUKF) di area pejalan kaki, tetapi dengan syarat yang ketat, antara lain:
1. Jalur pejalan kaki minimal 5 meter dengan lebar area berjualan maksimal 3 meter;
2. Tidak berada di sisi jalan arteri primer, sekunder, atau kolektor primer;
3. Dikelola oleh lembaga resmi; dan
4. Dilaksanakan di luar jam aktif bangunan di depannya.
Adanya legal misconception oleh para pegiat dan pemikir hukum akan berakibat pada pemberian rekomendasi yang keliru dalam pengambilan kebijakan oleh pemerintah. Istilah “menatar pikiran hukum” digunakan sebagai metafora untuk menggugah kembali cara berpikir hukum kita.
Dalam konteks ini, pendekatan legalistik yang menegaskan batas kewenangan pemerintah provinsi memang menjamin kepastian hukum, namun dapat mengabaikan dimensi kemanfaatan dan keadilan sosial. Sebaliknya, pendekatan populistik yang memberi ruang ekonomi bagi pedagang kecil tanpa dasar hukum yang kuat dapat menimbulkan ketidaktertiban dan pelanggaran norma.
Sehingga perdebatan antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota tidak semata-mata persoalan “siapa yang berwenang”, tetapi bagaimana kewenangan digunakan secara proporsional dan kolaboratif untuk menjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan kemanfaatan hukum.
Pemerintah Provinsi Gorontalo dan Pemerintah Kota Gorontalo perlu membuka ruang diskusi dan kerja sama kelembagaan antar susunan pemerintahan. Dengan cara demikian, hukum tidak hanya menjadi alat penertiban, tetapi juga sarana pemberdayaan yang menyeimbangkan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat.













