Hibata.id – Aroma suap kembali menodai dunia peradilan. Kali ini, tertuju pada Pengadilan Agama (PA) Gorontalo, setelah mencuat dugaan bahwa seorang hakim di lembaga itu menerima uang suap senilai Rp30 juta dari pihak yang tengah berperkara.
Informasi yang mula-mula beredar di media lokal rgol.id menyebut, uang tersebut diberikan melalui perantara yang disebut-sebut sebagai “calo kasus”. Tujuannya: memengaruhi putusan salah satu perkara di PA Gorontalo.
Kabar ini cepat menjalar, menimbulkan kehebohan di kalangan masyarakat dan komunitas hukum Gorontalo. Nilai suap yang mencapai puluhan juta rupiah menjadi indikasi kuat adanya praktik mafia peradilan yang terorganisir—sebuah isu lama yang kini muncul kembali di lingkungan peradilan agama.
Di tengah meningkatnya tekanan, Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Gorontalo akhirnya buka suara. Melalui Humas PTA, Kharis, lembaga itu membantah adanya praktik suap di bawah kewenangannya. Ia menegaskan bahwa kabar tersebut baru sebatas pengaduan yang tengah diproses.
“Ini baru diproses. Kami baru tangani pengaduannya dan belum tentu terjadi. Tapi biasa kan bahasa media supaya gempar,” ujar Kharis saat dihubungi, Rabu (29 Oktober 2025).
Kharis mengatakan, pihaknya telah menindaklanjuti laporan dugaan “calo kasus” itu sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengaduan. Meski begitu, hasil penelusuran internal belum bisa diumumkan kepada publik.
“Hasil investigasi hanya bisa disampaikan kepada pihak-pihak yang ditunjuk, sesuai peraturan Mahkamah Agung,” katanya.
Pernyataan itu menimbulkan tanda tanya. Publik menilai sikap tertutup PTA justru menguatkan kesan bahwa ada hal besar yang disembunyikan. Padahal, kasus dugaan suap ini menyangkut kredibilitas lembaga yang mestinya berdiri di atas asas kejujuran dan keadilan.
Lebih jauh, Kharis memberi sinyal bahwa pihak yang dicurigai terlibat belum tentu seorang hakim. Ia menyebut kemungkinan adanya orang dalam pengadilan yang berperan sebagai perantara.
“Belum tentu hakim, biasanya orang pengadilan,” ungkapnya, memberi isyarat arah penyelidikan.
Kharis juga memastikan bahwa Kepala PTA Gorontalo telah mengetahui laporan ini dan akan segera menindaklanjutinya. Namun, ia mengingatkan bahwa PTA tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana, melainkan hanya sanksi administratif atau disipliner.
Sikap itu memperlihatkan posisi serba tanggung lembaga peradilan agama: di satu sisi berjanji mengusut tuntas, di sisi lain menegaskan keterbatasan kewenangan.
Meski begitu, pengakuan adanya aduan dan pernyataan bahwa pelaku “biasanya orang pengadilan” membuka bab baru dalam dugaan praktik percaloan perkara di lingkungan PA Gorontalo.
Publik kini menunggu—apakah pengusutan ini benar akan menyingkap kebenaran, atau kembali berakhir sebagai ritual “pemeriksaan internal” yang tenggelam dalam senyap birokrasi













