Hibata.id – Kapolres Pohuwato, AKBP Winarno, memilih bungkam saat dikonfirmasi mengenai maraknya aktivitas pertambangan tanpa izin (PETI) di Desa Balayo, Kecamatan Patilanggio, yang kini menjadi ajang pemerasan oleh oknum tertentu terhadap para pengusaha tambang.
Sikap diamnya ini seolah menunjukkan dirinya menutup mata dengan praktik yang melanggar hukum tersebut. Hibata.id menghubunginya melalui pesan Whashapp sejak Sabtu (8/3/2024) kemarin. Namun, hingga berita ini diterbitkan, dirinya tidak merespon upaya konfirmasi tersebut, meskipun pesan itu sudah dibaca.
Sebelumnya, seorang pelaku usaha PETI yang enggan disebutkan namanya mengatakan, para pengusaha tambang ilegal di Desa Balayo dimintai uang pungutan kontribusi per bulan mencapai Rp50 juta per alat berat yang disebut sebagai “atensi” atau uang keamanan.
Ia bilang, beban pungutan yang semakin berat ini membuat pengusaha tambang kesulitan, bahkan beberapa di antaranya mereka memilih untuk menghentikan operasional tambangnya karena tak sanggup menanggung biaya yang cukup besar itu.
“Lebih baik kami berhenti daripada harus membayar Rp50 juta. Tidak ada uang sebanyak itu. Lebih baik kami bekerja manual saja,” ujar pengusaha tersebut, pada Jumat (7/3/2025) kemarin.
Ia juga menambahkan bahwa pungutan tersebut langsung dikumpulkan oleh seorang bernama Yosar Ruiba Monoarfa alias Oca. Ia pun mengaku sangat kecewa dengan kondisi yang dialami mereka yang dimintai uang yang begitu besar.
“Atensinya naik, pak. Saya kaget. Lebih baik saya berhenti daripada harus membayar sebesar itu,” lanjutnya dengan nada kesal.
Kondisi ini mencerminkan lemahnya pengawasan terhadap aktivitas PETI di Desa Balayo. Tak hanya beroperasi tanpa izin, pengusaha tambang ilegal juga menjadi korban pemerasan yang semakin merajalela.
Sebenarnya, Hibata.id beberapa kali menulis menulis soal permintaan uang “atensi” atau uang keamanan ini, tetapi praktik sebelumnya terjadi di PETI Hulawa, Kecamatan Marisa. Meski begitu, nama Yosar tetap disebutkan narasumber yang diduga menerima uang atensi itu.
Selain itu, nama Yosar juga mencuat setelah akun TikTok susupo_gorontalo mengunggah sebuah diagram konsorsium PETI yang beroperasi di Pohuwato. Di diagram itu, Yosar disebut berperan sebagai koordinator lapangan untuk aktivitas PETI di Kecamatan Paguat, Marisa, Patilanggio, Taluditi, dan Popayato Barat.
Dalam diagram tersebut, Oca diduga terlibat dalam pengumpulan uang yang disebut sebagai “atensi” atau uang keamanan dari para pelaku pertambangan yang menggunakan alat berat di lima kecamatan tersebut.
Kasus ini sebenarnya pernah ditulis Hibata.id pada awal Februari lalu. Adapun uang keamanan yang harus disetor oleh setiap pemilik alat berat mencapai Rp 50 juta. Oca diduga sebagai pihak yang mengumpulkan dana tersebut.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, Oca juga diduga memiliki kaki tangan di lima kecamatan itu untuk mengumpulkan uang yang bisa disebut “Upeti” tersebut. Bahkan, ada oknum ASN bertugas di Dinas Perhubungan yang disinyalir jadi kaki tangan Oca.
Lebih jauh, dalam diagram konsorsium tersebut, Oca juga disebut berperan dalam mengatur seluruh proses penjualan emas yang dihasilkan oleh para penambang ilegal di lima kecamatan tersebut. Ironisnya, emas yang dijual oleh para penambang itu dibeli dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan harga pasar saat ini.
Berdasarkan informasi yang didapatkan, harga beli emas dari penambang hanya sekitar Rp 700.000 hingga Rp 750.000 per gram, padahal harga emas saat ini mencapai Rp 1,6 juta per gram (per 21 Februari 2025).
Keberadaan Oca dalam konsorsium PETI ini semakin mempertegas dugaan adanya alur distribusi yang melibatkan pihak-pihak berpengaruh, sehingga memperkuat praktek pertambangan ilegal yang sudah berlangsung lama di wilayah tersebut.
Tanggapan Yosar Ruiba Monoarfa
Pada akhir Februari 2025 lalu, Hibata.id mengkonfirmasi semua tudingan ini kepada Yosar Ruiba Monoarfa alias Oca. Ia langsung membantah semua tudingan yang dialamatkan kepadanya. Meski begitu, dirinya mengaku pengumpulan dana dari para penambang itu ada, tetapi hal tersebut untuk kepentingan program hilirisasi manfaat yang digagasnya sejak 2024.
Oca menjelaskan, saat ini pihaknya sedang berupaya untuk mengurus izin pertambangan rakyat (IPR), baik perorangan maupun kelompok. Pengajuan IPR itu, katanya untuk memberikan ruang kepada para penambang agar bisa mengolah emas secara resmi.
Namun, sembari menunggu upaya itu berhasil, kata Oca, sejak 2024 dirinya berinisiatif untuk melakukan pendekatan persuasif kepada para pelaku usaha tambang di Buntulia dan Patilanggio untuk bisa bersamai membuat langka hilirisasi manfaat.
Hilirisasi manfaat ini, kata Oca, berupa tanggung jawab non formal oleh rakyat yang berprofesi sebagai pelaku usaha tambang untuk masyarakat lingkar tambang. Seperti pemberian paket sembilan bahan pokok, pemberian bantuan pupuk pertanian.
Dari segi lingkungan, kata Oca, hilirisasi manfaat ini bertujuan untuk melakukan normalisasi Daerah Aliran Sungai (DAS), pengangkutan sedimentasi, dan penutupan kubangan bekas galian tambang yang berdekatan dengan kompleks pemukiman warga setempat.
Di sisi kesehatan, katanya, pihaknya juga berencana memberikan bantuan bubuk untuk mengatasi kasus Malaria yang berada desa-desa sekitar PETI di Pohuwato. Katanya, semua langka itu dilakukan sebagai bentuk inisiatif yang dilakukan secara berkala.
“Langkah itu diambil untuk menunjukkan kepada publik bahwa meskipun pengajuan IPR sedang dimaksimalkan, paling tidak, pertambangan rakyat dan rakyat yang menambang harus dan wajib mendatangkan manfaat untuk masyarakat lingkar tambang,” kata Oca kepada Hibata.id.
Oca bilang, langka hilirisasi manfaat yang bisa disebut program ini sudah dilakukan PETI Dengilo dan Paguat sejak 2024. Ia bilang, upaya tersebut membuahkan hasil, walaupun belum maksimal.
“Meskipun begitu, skema hilirisasi manfaat tersebut masih memerlukan banyak perbaikan di berbagai aspek, termasuk pemerataan dan hal-hal terkait lainnya,” jelasnya.
Namun setidaknya, kata dia, sudah ada manfaat yang dibawa oleh penambang dari hulu ke hilir. Hal itu tidak dapat terwujud tanpa adanya gotong-royong dan rasa tanggung jawab bersama, terutama tanpa dukungan dana atau anggaran dari para pelaku usaha tambang rakyat.
Dana dari pelaku usaha rakyat penambang itulah yang, kata dia, sering kali disalahpahami sebagai upeti, pungli, atau hal-hal yang tidak jelas. Secara eksplisit, katanya, selama ini tidak ada pengumpulan dana gotong-royong yang bersifat terpaksa, baik dalam hal waktu maupun jumlah.
“Yang ada adalah penyadaran paksa dan pembinaan kepada mereka bahwa setiap masyarakat yang menambang di hulu seharusnya menyisihkan sebagian hasil penambangannya untuk urusan sosial dan lingkungan sampai IPR sudah resmi ada,” ucapnya.
Oca meluruskan informasi yang selama ini beredar mengenai dugaan bahwa uang dari para pelaku usaha mengalir secara bulanan ke oknum-oknum APH, oknum LSM, oknum wartawan, oknum aparat pemerintahan, dan sebagainya.
“Jika saya sebagai narasumber ditanya tentang informasi tersebut, saya akan jawab dengan tegas bahwa semua itu tidak benar,” tegasnya.
“Sebab, saya tegaskan lagi, pengumpulan dana tertentu dari para pelaku usaha tambang rakyat memang ada, namun peruntukannya murni untuk kegiatan sosial masyarakat di hilir, yang diserahkan baik dengan atau tanpa menggunakan proposal kegiatan tertentu,” sambungnya.
Akibat inisiator dari narasi gotong-royong yang digagasnya itu, maka hal tersebut mungkin yang menyebabkan beberapa orang menyebutnya sebagai koordinator atau memberikan sebutan lainnya.
“Area yang saya urusi untuk gotong-royong ini meliputi Dengilo, Marisa, Buntulia, dan Patilanggio. Sementara untuk Taluditi, saya masih dalam proses upaya menemui para pelaku usaha di sana untuk mendiskusikan niat dan cita-cita sosial awal,” ungkapnya.
Adapun untuk wilayah Popayato Barat seperti yang disebutkan dalam pemberitaan, kata dia, itu tidak benar, karena dirinya belum sampai kesana. Bahkan, katanya, baru sebagian kecil pelaku usaha tambang rakyat yang benar-benar mendukung niat dan inisiatif ini.
“Masih lumayan banyak juga yang mengklaim dan mencatut sambil meminta dicatat bahwa mereka juga ikut berpartisipasi, padahal kenyataannya tidak,” katanya.
Ia juga membantah soal pengaturan seluruh proses penjualan emas dari pelaku usaha penambang yang dialamatkan kepada dirinya. Ia juga tidak membenarkan soal diagram konsorsium PETI Pohuwato yang viral di media sosial itu.
“Jika diperlukan, tolong sampaikan ke saya sumber informasi yang berkaitan dengan itu, karena sudah mencatut nama baik saya,” pungkasnya.