Hibata.id – Pemerintah Kota Gorontalo mengambil sikap tegas terhadap perilaku menyimpang yang dinilai mengganggu ketertiban sosial. Wali Kota Hi. Adhan Dambea menyatakan bahwa warga yang terbukti rutin mengonsumsi minuman keras tidak akan lagi menerima bantuan sosial, termasuk layanan Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS Kesehatan).
“Kalau masyarakat itu pemabuk, jangan diberikan bantuan apa pun. Termasuk BPJS,” ujar Adhan dalam rapat kerja bersama pimpinan organisasi perangkat daerah (OPD), camat, dan lurah se-Kota Gorontalo, di Aula Bandhayo Lo Yiladia, Ahad malam, 29 Juni 2025.
Menurut Adhan, kebiasaan mabuk-mabukan telah menjadi akar keresahan sosial di tengah masyarakat. Ia menyebut perilaku tersebut bukan hanya merusak diri sendiri, tetapi juga memicu konflik rumah tangga, perkelahian, hingga tindak kriminalitas.
“Tidak ada gunanya kita bantu orang yang justru merusak lingkungan,” tegasnya.
Kebijakan ini diperkuat dengan instruksi langsung kepada para camat dan lurah untuk melakukan pendataan ulang terhadap warga di wilayah masing-masing. Pendataan itu, kata Adhan, penting agar kebijakan bisa diterapkan secara adil dan tidak diskriminatif.
Wakil Wali Kota Indra Gobel turut mendukung langkah tersebut sebagai bagian dari upaya menjalankan tiga program prioritas pemerintahan mereka: memberantas maksiat, mengurus agama Allah, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Langkah ini juga mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 yang menyatakan bahwa penyakit akibat ketergantungan alkohol dan narkotika tidak ditanggung dalam skema pembiayaan BPJS Kesehatan.
Adhan beralasan, negara tidak seharusnya membiayai gaya hidup yang bertentangan dengan nilai moral dan membahayakan tatanan sosial. Ia ingin agar program bantuan pemerintah benar-benar diberikan kepada warga yang patut dan produktif.
“Kalau ingin kota ini lebih baik, maka yang pertama dibersihkan adalah perilaku yang merusak dari dalam,” katanya.
Meski menuai dukungan dari sebagian kalangan, kebijakan ini juga mengundang sejumlah pertanyaan, terutama terkait mekanisme pendataan, parameter yang digunakan untuk mengidentifikasi perilaku mabuk, serta potensi pelanggaran hak atas pelayanan dasar seperti kesehatan.












