Hibata.id – Sebuah kampus yang seharusnya menjadi rumah gagasan, logika kritis, dan keberanian intelektual, seorang dosen justru terlempar keluar hanya karena memberi ruang bicara kepada mahasiswanya.
Peristiwa itu terjadi di Universitas Muhammadiyah Gorontalo (UMGO). Nama dosen itu Siti Magfirah Makmur. Tuduhannya dinilai merusak nama baik kampus.
Semua berawal dari sebuah podcast sederhana, bukan propaganda, bukan hasutan, apalagi ujaran kebencian.
Justru di sana, seorang mahasiswi berinisial HP akhirnya bicara—tentang apa yang sebenarnya terjadi di asrama mahasiswa UMGO.
Sebuah insiden yang sempat dianggap “iseng” versi kampus, tapi dibantah langsung oleh HP.
Podcast itu menyebar cepat, isinya menyingkap fakta yang tidak nyaman bagi institusi yang lebih sibuk menjaga wibawa ketimbang menjelaskan duduk perkara.
Alih-alih membuka dialog, kampus merespons dengan langkah yang paling gampang tapi diduga paling keliru. Yaotu mencopot dosen yang bicara jujur.
Magfirah seakan menjadi tumbal. Bukan karena salah, tapi karena dianggap “membuat gaduh.”
Logika seperti ini khas rezim anti-kritik: saat kebenaran muncul, yang dihabisi bukan masalahnya, tapi pembawanya.
Kampus atau Korporasi Citra?
Maaf, tetapi keputusan pemecatan tidak hormat terhadap Magfirah hanya memperkuat satu hal. Sebagian kampus di Indonesia, termasuk di Gorontalo, mulai berubah fungsi.
Dari ruang ilmu, menjadi pabrik reputasi. Dari arena pencarian kebenaran, menjadi pusat sensor.
Padahal Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 jelas menjamin kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.
Tapi apa artinya undang-undang ketika mentalitas otoriter masih bercokol di dalam ruangan ber-AC pimpinan kampus?
Suara Perlawanan
Keputusan pemecatan itu memantik reaksi keras. Isjayanto Doda, aktivis mahasiswa Pohuwato, bicara lantang.
“Kampus bukan milik segelintir pejabat akademik. Ia milik ilmu pengetahuan. Kalau dosen yang berpihak pada mahasiswa justru dipecat, berarti kampus itu sudah kehilangan jiwanya.”
“Pemecatan Magfirah adalah tamparan keras bagi dunia pendidikan kita. Kampus yang takut pada diskusi adalah kampus yang gagal mendidik.”
Kalimat itu sederhana, tapi menghantam tepat di jantung persoalan. Karena memang benar: tanpa ruang bicara, kampus hanya akan melahirkan generasi penakut, bukan pemikir.
Klarifikasi Kampus
Rektor UMGO, Kadim Masaong, menegaskan keputusan pemecatan Magfirah tidak terkait dengan tekanan publik. Ia juga membantah adanya penyembunyian informasi terkait insiden HP.
“Berdasarkan tes psikologi resmi kampus, insiden di asrama bukan karena tekanan eksternal atau gangguan lain. Itu murni persoalan pribadi yang berkaitan dengan keluarga mahasiswi,” jelas Kadim.
Kadim juga memberi peringatan kepada HP agar tidak menyebarkan informasi yang dinilai merugikan institusi.
“Jika diulangi, kami akan memberikan sanksi akademik berupa skorsing satu semester,” ujarnya.
Begitulah. Bukannya memberi ruang klarifikasi, kampus malah menambah daftar ancaman.
Pemecatan Magfirah adalah alarm keras. Jika dibiarkan, virus anti-kritik akan menyebar, dan kampus berubah menjadi mesin pengendalian—tanpa keberanian, tanpa kebebasan, tanpa pikiran merdeka.
Magfirah mungkin bisa diberhentikan hari ini. Tetapi gagasan yang dia perjuangkan mustahil diberhentikan.
Suara tak bisa dipaksa diam lebih lama. Mahasiswa tahu. Publik tahu. Dunia pendidikan tahu.
Apakah kampus akan memilih membangun peradaban ilmu, atau tetap bertahan sebagai menara gading yang takut pada kebenaran?













