Hibata.id – Penahanan Mada Yunus, seorang petani plasma sawit di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, memicu gelombang reaksi publik setelah video penangkapannya di Kantor Kejaksaan Negeri Buol viral di media sosial.
Forum Petani Plasma Buol (FPPB) menilai tindakan itu sebagai bentuk Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP), atau gugatan strategis untuk membungkam partisipasi publik.
Menurut Juru Bicara FPPB, Fatrisia Ain, perkara yang menjerat Mada Yunus menunjukkan pola kriminalisasi terhadap warga yang memperjuangkan hak atas tanah dan lingkungan.
“Kasus ini sangat dipaksakan. Tujuannya jelas: menghentikan perjuangan Mada dan petani lain yang dirugikan oleh praktik buruk kemitraan inti-plasma sawit di Buol,” ujar Fatrisia kepada wartawan, Selasa, 5 November 2024.
Fatrisia menyebut, kasus kriminalisasi terhadap petani bukan kali ini saja terjadi di Buol. Pada 2021, sedikitnya lima petani dipenjara karena memperjuangkan hak serupa.
Sepanjang 2024, FPPB mencatat sedikitnya 23 petani dan pembela HAM mengalami intimidasi dan proses hukum yang dinilai bermotif politik, terkait konflik dengan perusahaan sawit PT Hardaya Inti Plantations (HIP) serta lemahnya perlindungan dari pemerintah daerah.
Padahal, menurut Fatrisia, PT HIP telah dinyatakan bersalah oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU RI) dalam perkara kemitraan plasma.
“Pemerintah, termasuk para bupati, justru membiarkan situasi ini berlarut. Mereka terlibat langsung dalam carut-marut kemitraan tanpa langkah tegas untuk menyelesaikannya,” katanya.
Dugaan Kekerasan Saat Penangkapan
Insiden penahanan Mada Yunus juga menimbulkan tanda tanya. Dalam video yang beredar, tampak terjadi keributan di ruang Kejaksaan Negeri Buol.
Mansia Yunus, adik Mada, menuturkan peristiwa itu bermula ketika jaksa tiba-tiba memiting leher kakaknya saat ia hendak izin ke toilet.
“Kejadian itu memicu kepanikan keluarga. Bahkan ada aparat TNI di lokasi, tapi tidak ada yang melerai,” kata Mansia.
FPPB menilai tindakan tersebut sebagai bentuk penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat penegak hukum.
Fatrisia menambahkan, laporan petani mengenai kekerasan dan penipuan oleh pihak perusahaan tak pernah ditindaklanjuti oleh Polres Buol, termasuk laporan Mada dan almarhumah istrinya, yang sempat menjadi korban penganiayaan saat hamil.
“Ini preseden buruk bagi rakyat yang menuntut keadilan di tanah Pogogul,” ujarnya.
Desakan untuk Pemerintah Daerah
Fatrisia mendesak Pemerintah Kabupaten Buol mengambil sikap tegas menyelesaikan persoalan agraria dan kemitraan sawit secara transparan.
“Pemerintah tidak boleh ragu atau takut. Rakyat sudah terlalu lama mengalami kekerasan dan SLAPP hanya karena menuntut haknya atas tanah,” katanya.
Ia juga menegaskan pentingnya netralitas aparat hukum. Menurutnya, hukum seharusnya memberi rasa aman dan keadilan bagi warga negara, bukan perlindungan bagi korporasi yang sudah jelas melanggar hukum.
Menutup pernyataannya, Fatrisia menyerukan solidaritas bagi kaum tani dan masyarakat Buol untuk tetap bersatu memperjuangkan hak atas tanah dan lingkungan.
“Korporasi besar dari luar Buol bisa mendapat perlindungan atas nama pembangunan daerah, sementara rakyat yang tertindas belasan tahun malah dikriminalisasi. Mau sampai kapan kita berpura-pura tidak melihat penindasan ini?” pungkasnya.













