Hibata.id – Konflik penataan UMKM antara Pemerintah Kota Gorontalo dan Pemerintah Provinsi Gorontalo di kawasan Jalan Nani Wartabone dan eks Andalas membuka satu fakta telanjang.
Pemerintah belum sepenuhnya paham bagaimana mengelola kebijakan publik yang berdampak langsung pada kehidupan rakyat kecil.
Alih-alih memberi solusi, tarik-menarik kewenangan justru memperlihatkan ego sektoral antar instansi. Seolah-olah ruang ekonomi rakyat adalah papan catur untuk manuver birokrasi.
Padahal di sepanjang Nani Wartabone dan eks Andalas, ribuan pelaku usaha kecil bertahan hidup—bukan sedang bermain strategi kekuasaan.
Inkrianto Mahmud, akademisi Manajemen FEB Universitas Negeri Gorontalo, tepat ketika ia mengingatkan risiko kebijakan yang tidak sinkron.
“Jangan sampai pelaku usaha kebingungan menghadapi perubahan kebijakan yang tidak konsisten antara satu lembaga pemerintah dengan yang lain. Ada yang diminta pindah lokasi usaha karena penataan jalan, sementara sebagian lainnya justru masih diberi izin berdagang di area yang sama,” ungkapnya.
Pernyataan itu bukan sekadar kritik akademik. Ini tamparan terhadap logika birokrasi yang sering bekerja tanpa perencanaan matang.
Dalam teori Strategic Alignment Model Henderson & Venkatraman (1993), kebijakan akan gagal jika strategi tidak selaras dengan implementasi. Persis seperti yang terjadi hari ini: pemerintah bicara penataan, tetapi gagal memberi kepastian.
“Ketika strategi antarbagian tidak sinkron, hasilnya bukan efisiensi, melainkan ketidakpastian yang merugikan masyarakat di Kota Gorontalo,” jelasnya lagi.
Masalahnya bukan sekadar lokasi berjualan. Ini soal keadilan ruang bagi UMKM. Pemerintah tampak lupa bahwa sektor usaha mikro adalah tulang punggung ekonomi daerah.
Ketika kebijakan berubah-ubah, pelaku UMKM kehilangan arah. Ketika ruang usaha dikurangi tanpa solusi, mereka kehilangan nafkah. Ketika pemerintah bertindak tanpa dialog, mereka kehilangan kepercayaan.
Inkrianto menawarkan jalan yang lebih rasional: kolaborasi kebijakan.
“Pendekatan Collaborative Governance juga penting diterapkan agar setiap keputusan tidak bersifat top-down, tapi bottom-up yakni lahir dari dialog antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat,” terangnya.
Ini masuk akal. Kebijakan penataan kota memang perlu, tetapi tidak boleh menjadi dalih untuk menyingkirkan ekonomi rakyat. Pemerintah tidak boleh hanya menggunakan bahasa penertiban, tetapi juga harus menyediakan skema perlindungan.
Solusi yang ditawarkan Inkrianto konkret dan realistis:
“Sebagai solusi manajerial, pemanfaatan kios dan area kosong di Pasar Sentral Gorontalo dinilai menjadi langkah strategis dan realistis,” ujarnya.
Banyak kios di pasar tersebut belum terisi optimal, padahal fasilitas sudah tersedia dan lokasinya sangat potensial.
“Dengan relokasi sebagian pelaku UMKM ke Pasar Sentral, pemerintah dapat menata kawasan kota secara lebih teratur tanpa harus menekan ruang usaha masyarakat kecil,” tandasnya.
Pada akhirnya, inti dari persoalan ini sederhana: pemerintah semestinya hadir memberi kepastian, bukan kebingungan.
Pemerintah seharusnya melindungi kehidupan ekonomi rakyat, bukan menekan mereka dengan kebijakan yang tidak konsisten.
Kalau birokrasi sibuk berkonflik, lalu siapa yang menjaga ruang hidup UMKM?
Jika konflik ini dibiarkan, yang hilang bukan hanya lapak pedagang, tetapi juga kepercayaan rakyat pada pemerintah.












