Hibata.id – Pendidikan agama memiliki peran strategis dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Namun, peran tersebut membutuhkan revitalisasi agar lebih relevan dan berkontribusi nyata dalam membangun karakter bangsa. Hingga saat ini, pendidikan agama sering dianggap hanya sebatas panggung khotbah dan seruan etis tanpa dorongan aksi nyata. Akibatnya, muncul wacana menjadikan pendidikan agama sebagai mata pelajaran pilihan yang dapat diabaikan siswa.
Keputusan Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 12 ayat (1) huruf a dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menegaskan bahwa pendidikan agama wajib dilaksanakan di sekolah. Namun, tantangan tetap ada. Pendidikan agama harus adaptif, kontekstual, dan menarik agar mampu menjawab kebutuhan zaman. Jika tidak, mata pelajaran ini berisiko menjadi tidak relevan bagi siswa.
Panduan Pendidikan Perubahan Iklim yang diterbitkan Kemendikbudristek menjadi salah satu refleksi tantangan ini. Dalam panduan tersebut, pendidikan agama hanya digambarkan sebagai sarana menyampaikan kesadaran tentang perubahan iklim melalui seruan etis dan khotbah. Sayangnya, panduan ini gagal memberikan afirmasi kepada siswa untuk berkontribusi langsung melalui tindakan nyata.
Sebagai contoh, ajaran Islam menekankan pentingnya menjaga kebersihan sebagai bagian dari iman. Nabi Muhammad SAW melarang umatnya kencing di bawah pohon demi menjaga lingkungan sekitar. Begitu pula dalam ajaran Kristen, Kitab Kejadian 2:15 memerintahkan manusia untuk merawat dan menjaga lingkungan. Kedua agama ini menegaskan bahwa aksi nyata adalah bagian dari ibadah dan tanggung jawab moral.
Agama sebagai Penggerak Perubahan
Pada September 2024, Paus Fransiskus dan Imam Besar Masjid Istiqlal menandatangani Deklarasi Istiqlal yang berfokus pada isu kemanusiaan dan pelestarian lingkungan. Deklarasi ini selaras dengan seruan Sekretaris Jenderal PBB yang menyebut perubahan iklim sebagai “kode merah” bagi kemanusiaan. Kondisi terkini menunjukkan bahwa langkah konkret sangat diperlukan, terutama dengan meningkatnya frekuensi bencana akibat perubahan iklim, seperti kebakaran hutan di California dan pemutihan terumbu karang di Pasifik.
Menurut World Meteorological Organization (WMO), pemanasan laut telah meningkat signifikan sejak 1993, terutama di wilayah tropis seperti Laut Banda, Laut Arafura, dan Laut Timor. Fenomena ini berdampak pada ekosistem laut dan kehidupan masyarakat pesisir. Pendidikan agama dapat menjadi katalisator untuk meningkatkan kesadaran dan aksi nyata dalam menghadapi dampak perubahan iklim.
Untuk menjawab tantangan ini, pendidikan agama harus mampu menggali nilai-nilai ekologis yang terkandung dalam ajaran agama. Implementasi pendidikan agama perlu menekankan praktik nyata, seperti pengelolaan limbah, penghijauan, dan pengurangan jejak karbon. Selain itu, pendekatan interdisipliner dengan melibatkan sains dan teknologi dapat memperkaya materi pendidikan agama.
Beberapa negara telah menjadi contoh sukses dalam mengintegrasikan isu perubahan iklim ke dalam kurikulum pendidikan. Di Jepang, siswa sejak dini diajarkan untuk memahami jejak karbon dan melakukan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, di Indonesia, perhatian terhadap perubahan iklim baru berkembang dalam beberapa tahun terakhir, terutama di tingkat perguruan tinggi.
Pendidikan agama harus menjadi instrumen perubahan yang nyata dalam menghadapi krisis iklim. Selain menjaga nilai-nilai dasar seperti pembangunan karakter dan akhlak mulia, pendidikan agama juga harus relevan dengan tantangan global. Dengan menggali nilai-nilai ekologis dari ajaran agama, pendidikan agama dapat memberikan kontribusi signifikan dalam membangun kesadaran dan aksi kolektif menghadapi perubahan iklim.