Oleh: Fikri Papempang, Kabid PTKP HMI Komisariat Hukum Cabang Pohuwato
Kasus dugaan keterlibatan Yusuf Lawani, anggota legislatif Kabupaten Pohuwato, dalam aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI), membuka tabir kelam hubungan antara kekuasaan dan kepentingan ekonomi ilegal.
Di tengah derita lingkungan yang rusak dan konflik sosial yang kian menganga, keterlibatan seorang wakil rakyat bukan hanya pelanggaran hukum—tetapi juga pengkhianatan terhadap mandat konstitusional yang melekat pada jabatannya.
Wakil rakyat semestinya menjadi pengawas kebijakan, bukan pelaku pelanggaran. Namun di Pohuwato, batas antara fungsi pengawasan dan kerakusan pribadi tampak kabur.
Ketika legislator menambang tanpa izin, maka mereka juga sedang menggali kubur bagi kepercayaan publik terhadap demokrasi lokal.
Lebih memilukan lagi, sikap partai politik yang menaungi sang legislator justru terkesan setengah hati.
Ketua DPD Partai NasDem Pohuwato, pada 27 September 2025, menyebut telah memberikan teguran lisan dan akan menyiapkan sanksi tertulis bila pelanggaran berlanjut.
Sikap ini terdengar lunak, seolah urusan tambang ilegal hanyalah persoalan disiplin internal, bukan pelanggaran serius terhadap hukum dan moral publik.
Di tengah kerusakan lingkungan dan penderitaan masyarakat terdampak, pernyataan itu terasa seperti basa-basi politik.
Keterlibatan anggota DPRD dalam PETI lebih dari sekadar pelanggaran administratif; ia mencerminkan wajah gelap kekuasaan lokal yang membiarkan hukum tunduk di bawah kepentingan pribadi.
Lambannya penindakan memperkuat kesan adanya pembiaran—bahkan mungkin perlindungan politik—dari elit tertentu.
Bila keadaan ini terus dibiarkan, wibawa hukum akan runtuh, dan rakyat akan kehilangan pegangan pada institusi yang seharusnya mereka percaya.
Legislatif seharusnya berdiri di garis depan menegakkan etika publik. Namun, jika lembaga ini gagal membersihkan diri dari oknum perusak, maka sulit berharap masyarakat masih melihat DPRD sebagai representasi kehendak rakyat.
Demokrasi di bumi Panua hanya akan menjadi panggung ilusi: tempat kepentingan pribadi bersembunyi di balik simbol kepercayaan rakyat.
Oleh karena itu, DPRD Pohuwato dan Partai NasDem harus bertindak tegas dan cepat. Badan Kehormatan DPRD wajib memproses kasus ini sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta AD/ART Partai NasDem dan kode etik DPRD.
Anggota yang terbukti terlibat dalam PETI tidak cukup hanya ditegur; mereka harus dicopot dan diadili.
Ini bukan sekadar soal politik, melainkan soal moralitas publik. Soal masa depan lingkungan, keadilan, dan generasi Pohuwato yang akan mewarisi tanah rusak akibat kelalaian para penguasa.
Jika DPRD ingin mengembalikan marwahnya, langkah pertama adalah berani membersihkan diri. Sebab, kekuasaan tanpa integritas hanyalah topeng—dan rakyat Pohuwato sudah terlalu lama melihat wajah gelap di balik topeng itu.













