Hibata.id – Ketegangan pecah di Desa Teratai, Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, pada Sabtu (09/08/2025), saat warga menghadang proses pengangkutan sebuah alat berat (excavator) oleh pihak perusahaan tambang Pani Gold Project (PGP). Excavator tersebut diduga milik inisial R, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan DPRD Pohuwato.
Alat berat itu dikabarkan diamankan karena diduga melakukan aktivitas dalam wilayah konsesi perusahaan. Namun, saat akan diangkut menggunakan kontainer milik perusahaan menuju lokasi yang diduga ke arah Polres, sejumlah warga melakukan penghadangan tepat di sekitar area timbangan Desa Teratai.
Menurut pantauan Hibata.id, aksi tersebut berlangsung damai dan berakhir setelah pihak warga dan perusahaan melakukan dialog awal di lokasi, yang kemudian dilanjutkan ke pertemuan tertutup di kantor Pani Gold Project.
Salah satu tokoh masyarakat sekaligus aktivis lokal, Soni Samoe, menyampaikan kekecewaannya atas perlakuan yang ia anggap tidak adil dan diskriminatif. Ia menegaskan bahwa alat berat tersebut dalam kondisi rusak dan tidak sedang digunakan untuk aktivitas tambang.
“Kami mau turunkan alat yang rusak, malah dapat kabar alat itu mau dibawa ke Polres. Kenapa kami yang tidak membawa senjata, tidak mengancam siapa pun, dipersulit seperti ini?” ujarnya.
Soni juga membandingkan insiden ini dengan kasus sebelumnya, di mana orang luar daerah sempat membawa senjata tajam ke area tambang namun tidak mendapat perlakuan tegas.
“Sebagai orang lokal, saya merasa harga diri kami dilecehkan. Kalau ingin menertibkan, tertibkan semua, jangan tebang pilih. Kalau mau lapor, laporkan semua, bukan cuma kami,” tegasnya.
Soni juga menyoroti lemahnya manajemen perusahaan dalam menangani dinamika sosial di lapangan. Ia menilai beberapa pelaksana lebih fokus pada hal-hal yang tidak relevan dengan operasional utama perusahaan.
“Kami tidak sedang menghadang. Kami hanya ingin tahu dasar hukum pengangkutan alat itu. Kami siap berdialog, tapi jika terus dipersulit, saya tidak akan mundur—bahkan jika harus mempertaruhkan posisi saya di KUD. Ini bukan cuma soal alat berat, ini soal harga diri,” tambahnya.
Insiden ini menjadi sinyal kuat bahwa relasi antara masyarakat lokal dan perusahaan tambang masih jauh dari harmonis. Persoalan akses, penertiban, hingga dugaan diskriminasi dalam penegakan aturan terus menjadi sumber konflik.
Meski aksi ini tidak berujung anarkis, ketegangan yang muncul menunjukkan perlunya pendekatan lebih inklusif dan adil dari pihak perusahaan terhadap warga sekitar, agar konflik serupa tidak kembali terulang di kemudian hari.












