Scroll untuk baca berita
Kabar

Polemik UMGO: Mahasiswi Dipaksa Klarifikasi, Dosen Pembela Dipecat

Avatar of Hibata.id✅
×

Polemik UMGO: Mahasiswi Dipaksa Klarifikasi, Dosen Pembela Dipecat

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi Kampus UMGO: Mahasiswi Dipaksa Klarifikasi, Dosen Pembela Dinonaktifkan/Hibata.id
Ilustrasi Kampus UMGO: Mahasiswi Dipaksa Klarifikasi, Dosen Pembela Dinonaktifkan/Hibata.id

Hibata.id – Insiden yang terjadi di Universitas Muhammadiyah Gorontalo (UMGO) beberapa pekan terakhir bukan sekadar persoalan internal kampus.

Ini adalah cermin rusaknya tata kelola pendidikan tinggi ketika reputasi institusi lebih dipuja daripada keselamatan mahasiswa.

Sebuah universitas kehilangan martabatnya ketika memilih menekan kebenaran dan membungkam suara yang berani menyampaikannya.

Kisah ini berawal dari peristiwa di asrama UMGO. Seorang mahasiswi berinisial HP ditemukan dalam keadaan tidak sadarkan diri di balkon asrama kampus pada Kamis (2/10/2025) malam.

Video yang merekam kondisinya viral di media sosial. Bukannya menyelidiki penyebab kejadian dan memastikan keselamatan mahasiswa, pihak pengelola asrama justru diduga memaksa HP membuat klarifikasi publik bahwa insiden itu hanyalah tindakan “iseng”.

Narasi yang dipaksakan itu segera memantik perundungan. HP bukan hanya kehilangan martabatnya sebagai manusia, tetapi juga menjadi objek cibiran publik di lingkungan kampus. Tekanan demi tekanan diarahkan kepadanya seolah-olah ia pelaku, bukan korban.

Baca Juga:  Kampus UMGO: Ketika Kritik Dosen Dibalas Pemberhentian Tidak Hormat

Merasa diperlakukan tidak adil, HP mencari ruang untuk didengar. Bersama keluarganya, ia mendatangi Sitti Magfirah Makmur, dosen Fakultas Hukum UMGO, yang dikenal sebagai pembela kelompok yang terpinggirkan.

Melalui sebuah podcast, HP akhirnya mengungkap fakta yang selama ini ditutup-tutupi:

“Saat itu memang saya dalam kondisi tidak sadarkan diri,” tegas HP dalam klarifikasinya, menyangkal narasi “iseng” yang dipaksakan kepadanya.

Magfirah, yang akrab disapa Fira, menegaskan bahwa kehadiran HP dalam podcast tersebut bukan rekayasa.

“Sejak awal yang bersangkutan bersama keluarganya yang datang untuk podcast ke saya tanpa ada intervensi sedikit pun,” ujarnya.

Di titik ini, persoalan berubah menjadi lebih serius. Jika HP benar dipaksa untuk memberikan klarifikasi palsu demi kepentingan reputasi kampus, maka ini bukan lagi sekadar pelanggaran etika.

Baca Juga:  PETI Dekat Ibu Kota Marisa Dibiarkan Merajalela: Warga Tercekik Lumpur, Aparat Diam?

Ini penindasan struktural terhadap mahasiswa. Dan ketika seorang dosen justru memilih membela korban, seharusnya kampus berdiri di barisan yang sama: membela yang lemah.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Pihak universitas menerbitkan Surat Keputusan Rektor UMGO Nomor 321/KEP/II.3.AU/D/2025 yang memberhentikan sementara Magfirah sebagai dosen sejak 15 Oktober hingga 31 Januari 2026. Alasannya? Podcast itu dinilai merusak citra universitas.

“Saya sempat dihubungi kampus tentang podcast saya itu, bahkan disuruh untuk ditangguhkan, tapi saya tetap berdiri dengan korban dan membela kebenaran,” katanya.

Keputusan itu bukan hanya berlebihan, melainkan mengkhianati prinsip akademik. Kampus yang seharusnya menjadi ruang pencarian kebenaran justru menunjukkan bahwa kekuasaan administratif bisa digunakan untuk membungkam suara yang kritis.

Perlakuan terhadap Magfirah adalah sinyal bahwa keberanian moral bisa dihukum, sementara kepatuhan buta dirayakan.

Baca Juga:  Tarif Listrik per kWh Oktober–Desember 2025 Resmi Tetap, Ini Daftar Lengkapnya

Saat dikonfirmasi pada Senin (20/10/2025), pihak Humas UMGO hanya berkata singkat:

“Besok Pak Rektor akan melakukan konferensi pers bersama media.”

Sayangnya, konferensi pers hanyalah kosmetik institusional jika tidak dibarengi niat untuk mengevaluasi moral kampus. Persoalan ini bukan hanya milik UMGO. Ini alarm keras bagi seluruh perguruan tinggi di Indonesia.

Jika kampus mulai takut pada kebenaran, lalu di mana lagi generasi muda akan belajar tentang keberanian berpikir dan integritas?

Universitas seharusnya berpihak pada kemanusiaan. Jika reputasi dijaga dengan menutupi fakta, itu bukan pendidikan—itu kemunafikan akademik.

Kasus HP adalah peringatan: kampus tidak boleh menjadi mesin pembungkam. Tugas pendidikan bukan menjaga citra, melainkan menjaga nurani.

**Cek berita dan artikel terbaru di GOOGLE NEWS dan ikuti WhatsApp Channel