Hibata.id – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen pada transaksi uang elektronik bukan merupakan kebijakan baru.
“Pengenaan PPN atas jasa layanan uang elektronik telah berlaku sejak berlakunya Undang-Undang PPN Nomor 8 Tahun 1983, yang efektif sejak 1 Juli 1984. Jadi, ini bukanlah objek pajak yang baru,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, dalam keterangan tertulis, Sabtu (21/12/2024).
Dalam perjalanan waktu, aturan terkait PPN mengalami pembaruan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam UU tersebut, layanan uang elektronik tidak termasuk kategori objek yang dibebaskan dari PPN.
Oleh karena itu, ketika tarif PPN meningkat menjadi 12 persen, hal tersebut secara otomatis berlaku juga untuk transaksi uang elektronik.
Detail Aturan Pengenaan PPN
Penjelasan lebih rinci mengenai pengenaan PPN terhadap layanan uang elektronik diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2022. Berikut adalah daftar layanan yang dikenakan PPN:
Uang elektronik (e-money)
Dompet elektronik (e-wallet)
Gerbang pembayaran
Switching
Kliring
Penyelesaian akhir
Transfer dana
PPN dikenakan pada biaya layanan atau komisi yang dibebankan kepada penyelenggara, seperti biaya registrasi, pengisian ulang saldo (top-up), pembayaran transaksi, transfer dana, dan tarik tunai.
Untuk layanan dompet elektronik, biaya yang dikenakan PPN meliputi pembayaran tagihan dan layanan paylater. Selain itu, PPN juga berlaku untuk biaya merchant discount rate (MDR).
Namun, nilai uang elektronik itu sendiri, termasuk saldo, bonus poin, reward poin, serta transaksi transfer dana murni, tidak dikenakan PPN.
Komitmen Transparansi Pajak
DJP memastikan bahwa aturan ini bertujuan untuk memberikan kejelasan kepada masyarakat terkait objek pajak. Selain itu, langkah ini diharapkan dapat mendorong kepatuhan pajak, khususnya di sektor teknologi finansial (fintech) yang terus berkembang di Indonesia.
Dengan kehadiran PMK Nomor 69 Tahun 2022, pemerintah memberikan panduan yang lebih jelas bagi pelaku industri fintech untuk memahami kewajiban perpajakan mereka.
Hal ini juga diharapkan dapat memperkuat sistem perpajakan nasional seiring dengan meningkatnya adopsi teknologi digital dalam transaksi keuangan.