Hibata.id – Tangis sunyi warga Desa Telaga Induk, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, akhirnya meledak di ruang publik. Asdin Yasin Mohamad, salah satu warga setempat, meluapkan kekecewaannya melalui akun Facebook pada Kamis (22/5/2025). Sudah sembilan tahun—sejak 2016—ia dan warga lainnya belum pernah merasakan aliran air bersih dari PDAM.
“Mohon tolong diperbaiki atau dicek aliran air PDAM agar semua masyarakat Desa Telaga Induk bisa menikmati air bersih. Ya Allah… termasuk saya sendiri,” tulis Asdin dengan nada putus asa.
Keluhannya bukan yang pertama, bukan pula tanpa usaha. Asdin mengaku sudah empat kali mendatangi kantor PDAM secara langsung demi mencari solusi. Ia bahkan memuji para pegawai PDAM yang ramah, tetapi sikap baik saja tak cukup untuk mengalirkan air ke rumah-rumah.
“Saya sudah empat kali ke kantor PDAM, ketemu dengan pegawainya yang baik hati, hanya untuk minta solusi terbaik agar air PDAM bisa mengalir di Desa Telaga Induk,” lanjutnya.
Namun, air tak kunjung mengalir. Harapan berubah menjadi frustrasi. Ironisnya, Asdin menyatakan kesediaannya membayar tagihan jika memang itu yang diperlukan. Ini bukan soal warga yang enggan membayar, tetapi tentang layanan publik yang gagal hadir untuk rakyat.
Unggahan Asdin menyulut respons warganet. Dwi Darmadi, salah seorang pengguna Facebook, menyentil kinerja para wakil rakyat—terutama mereka yang berasal dari Popayato.
“Para pejabat sudah sering ke Popayato. Kira-kira harus nunggu berapa lama lagi? Bahkan ada aleg (anggota legislatif) asal Popayato juga. Mereka peduli nggak, sih? Malah yang bantu salurkan air bersih ikut dihujat. Malu gak tuh?” tulisnya pedas.
Sementara itu, komentar singkat dari Sufriani Ny Irianto menyentil lebih dalam, menohok ke akar perasaan banyak warga. “Indonesia sudah merdeka, tapi masih merasa terjajah,” ucapnya.
Keluhan soal air bersih bukan hal baru di wilayah ini. Namun pertanyaan mendasar terus menggema: sampai kapan rakyat harus menunggu hak dasar mereka dipenuhi? Air bersih bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan pokok. Sayangnya, pelayanan publik yang seharusnya menjadi penopang kesejahteraan justru seperti mati suri.
Jika sembilan tahun belum cukup untuk membangunkan sistem yang tertidur, mungkin rakyat harus berteriak lebih keras. Karena ini bukan lagi sekadar soal keterlambatan pelayanan—ini soal kelalaian negara terhadap kebutuhan paling mendasar warganya.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak PDAM Popayato belum memberikan tanggapan.