Dr. Funco Tanipu, ST., M.A (Ketua Forum Komunikasi Pencegahan Terorisme) Provinsi Gorontalo
Batalyon 713 Satya Tama di Gorontalo bukan hanya institusi militer. Bagi sebagian masyarakat, satuan ini menyimpan sejarah sosial dan kedekatan emosional yang melekat hingga lintas generasi.
Kisah kecil yang tumbuh di lingkungan markas batalyon ini menjadi fondasi nilai kedisiplinan, sportivitas, dan cinta tanah air.
Saya masih mengingat jelas tahun 1992 hingga 1993. Setiap sore sekitar pukul 16.30 WITA, saya diajak ayah, Daud Tanipu, menuju Kompi Markas Batalyon 713 Satya Tama di Gorontalo. Saat itu ayah dipercaya menjadi Pelatih Kepala Persidago, klub sepak bola kebanggaan Gorontalo yang dalam perjalanannya banyak melahirkan atlet daerah.
Sebagian pemain Persidago saat itu merupakan prajurit Batalyon 713, sementara lainnya pemain utama klub. Di sisi lain, sosok yang tidak pernah saya lupakan adalah Roem Dg Passa, kiper legendaris Gorontalo, yang akrab saya sapa “Oom Roem”. Ia bukan hanya asisten pelatih, tetapi juga keluarga bagi kami.
Saya sering duduk di pinggir lapangan melihat latihan berlangsung. Kadang ikut memungut bola yang keluar lapangan, merasa menjadi bagian kecil dari atmosfer perjuangan mereka. Seusai latihan, para pelatih, pemain, dan prajurit berkumpul menikmati teh dan kopi, ditemani pisang goreng dan air kelapa muda. Kebersamaan itu membentuk kesan kuat bahwa Batalyon 713 bukan hanya tempat latihan, tetapi ruang persaudaraan.
Ayah saya merupakan atlet serba bisa. Ia pernah mewakili Sulawesi Utara dalam tiga cabang olahraga: voli, atletik, dan sepak bola. Namun nasib berkata lain. Pada 1965, ketika telah dikarantina di Tomohon untuk mengikuti Pekan Olahraga Nasional (PON), peristiwa G30S/PKI membuat ajang itu dibatalkan. Kegagalan itu tidak mematahkan semangatnya.
Dalam sepak bola, ayah dikenal sebagai penjaga gawang tangguh. Salah satu kisah yang sering ia ulang adalah saat memperkuat Sulawesi Utara melawan Sulawesi Selatan di Makassar. Ia pernah menghentikan tendangan penalti legenda Indonesia, Ramang, meski harus membuat jari manisnya patah. “Tendangan Ramang paling keras di Indonesia,” katanya sambil tersenyum setiap kali bercerita.
Selain sepak bola, ia juga melatih voli untuk prajurit Batalyon 713 yang dipersiapkan menghadapi kejuaraan di Manado. Untuk cabang atletik, ia bahkan mewakili Afdeling Gorontalo pada Porya Makassar 1958.
Kedekatan keluarga kami dengan Batalyon 713 semakin kuat pada 1992 ketika kakak saya menikah dengan seorang prajurit TNI dari Sulawesi Tengah yang bertugas di kompi markas tersebut. Sejak itu, Batalyon 713 bukan hanya tempat aktivitas olahraga, tetapi bagian dari perjalanan keluarga kami.
Batalyon 713 Satya Tama dikenal sebagai satuan yang memiliki sejarah panjang pengabdian. Pasukan ini terlibat dalam berbagai operasi pengamanan di Papua, Kalimantan, hingga Timor Leste. Mereka juga pernah ditugaskan dalam misi perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Kongo, Afrika—membawa nama Indonesia dan Gorontalo ke panggung internasional.
Dari satuan ini lahir perwira-perwira besar yang kemudian menjadi tokoh nasional, seperti Jenderal TNI (Purn) Wiranto, Jenderal TNI (Purn) Mulyono, dan Mayjen TNI (Purn) Kurnia Dewantara. Dua nama pertama bahkan memiliki ikatan batin dengan Gorontalo—Wiranto menikah dengan Rugaiyah Usman, dan Mulyono menikah dengan Rosita Ibrahim.
Kini Gorontalo memiliki lebih dari satu satuan kebanggaan TNI AD. Selain Batalyon 713 Satya Tama, berdiri Yonif 715 Motuliato sejak 2012 dan satuan terbaru Yonif Teritorial Pembangunan 824 Mo’ea pada Agustus 2025. Namun bagi saya, Batalyon 713 tetap menyimpan makna tersendiri.
Tiga puluh tiga tahun setelah sore-sore latihan di tahun 1992, saya kembali melangkah ke markas itu—bukan sebagai atlet, tetapi sebagai seorang yang ingin membagi makna tentang kebersamaan, kedisiplinan, dan kecintaan terhadap tanah air.
Bagi saya, Batalyon 713 Satya Tama bukan sekadar kesatuan tempur. Ia adalah memori, guru kehidupan, dan jejak sejarah yang membentuk karakter. Di tempat itu, saya pertama kali belajar tentang hormat, komitmen, dan harga diri sebagai anak bangsa.













