Hibata.id – Tahun 2020 silam, ketika jalanan sepi dan sirene ambulans menjadi suara paling sering terdengar, sebagian pejabat publik di Boalemo justru “sibuk” bepergian.
Bukan untuk menyalurkan bantuan, bukan pula menegakkan protokol kesehatan. Melainkan perjalanan dinas—yang kini diduga fiktif.
Ironis? Tentu
Ketika masyarakat menahan diri di rumah karena PSBB dan WFH, sebagian anggota DPRD Boalemo malah diduga “berkelana” di atas kertas.
Laporan dibuat, tanda tangan basah dibubuhkan, dan uang perjalanan tetap cair. Semua seolah sah di tengah darurat.
Kisah ini kembali menyeruak setelah beberapa hari lalu Kejaksaan Negeri Boalemo melakukan penggeledahan di kantor DPRD.
Dokumen-dokumen keuangan yang dulu mungkin dianggap rutinitas administratif, kini berubah jadi petunjuk dugaan korupsi. Publik yang lama atas keejelasan kasus ini makin dibuat penasaran.
Saat itu pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB dan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang penegakan disiplin protokol kesehatan, semestinya semua lembaga negara ikut menahan diri.
Namun, di Boalemo, aturan itu tampak hanya jadi formalitas.
“Perjalanan dinas fiktif ini bukan gosip. Penggeledahan Kejari sudah jadi bukti awal yang cukup,” ujar Deno Djarai, Ketua Lembaga Pengawas Pemerintahan dan Pembangunan Gorontalo (LP3G).
Ia menegaskan, penyidik Kejari Boalemo seharusnya tak ragu melangkah.
“Segera tetapkan tersangka. Jangan biarkan kasus ini berlarut, publik sudah terlalu lama menunggu,” katanya.
Deno mengingatkan, Kejari Bitung sudah lebih dulu memberi contoh: tujuh orang ditetapkan sebagai tersangka kasus serupa, termasuk anggota DPRD aktif. “Jangan sampai Boalemo kalah berani,” tambahnya.
Masalah utama dalam kasus ini bukan hanya tentang uang negara yang diduga dikorupsi, tapi soal moral pejabat publik.
Di tengah pandemi, rakyat berhemat untuk bertahan hidup, sementara sebagian wakil rakyat justru “berlibur” dengan dana APBD.
Setiap bukti perjalanan dinas fiktif bukan sekadar angka dalam laporan, melainkan simbol pengkhianatan terhadap kepercayaan.
Di sinilah integritas diuji: apakah hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, atau benar-benar menegakkan keadilan?
Deno Djarai menutup dengan peringatan yang terasa seperti cermin bagi banyak daerah:
“Jangan ada kompromi dalam kasus ini. Hukum yang lemah hanya akan melahirkan pejabat yang semakin berani mencuri.” tegasnya.
Kasus perjalanan dinas DPRD Boalemo 2020–2022 bukan sekadar soal anggaran yang bocor. Ini soal wajah birokrasi yang retak.
Publik Boalemo, dan mungkin seluruh Gorontalo, kini menunggu apakah Kejaksaan akan menambal retakan itu—atau justru membiarkannya melebar.
Karena di negeri yang konon menjunjung transparansi, terlalu sering uang rakyat menguap lewat tiket perjalanan yang tak pernah tercetak.













