Hibata.id – Pagi itu, matahari baru saja naik di langit Pohuwato. Namun halaman Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIb Pohuwato sudah riuh oleh suara tawa, sorakan hingga teriakan penyemangat.
Warga binaan, dengan kostum sederhana dan wajah penuh senyum, berbaris rapi menunggu giliran mengikuti perlombaan.
Suasana berbeda terasa sejak pukul 08.00 Wita. Dari balik tembok tinggi lapas, semangat kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80 membuncah, mengalir dalam setiap langkah, gerakan, dan tawa para peserta.
Perlombaan khas 17 Agustus digelar berturut-turut: bola kaki dangdut yang memancing tawa, balap karung yang membuat peserta jatuh bangun,
Ada juga tarik tambang yang menuntut kekuatan dan kekompakan, bakiak panjang yang melatih koordinasi, lomba makan kerupuk, tusuk balon, hingga membawa kelereng di sendok yang menguji keseimbangan.
Sorak-sorai penonton yang duduk di pinggir lapangan menjadi irama yang menyemangati. Setiap kemenangan disambut tepuk tangan, setiap kekalahan dihibur dengan canda. Di sini, tidak ada jarak antara peserta dan penonton — semua larut dalam kegembiraan.
Kepala Lapas Kelas IIb Pohuwato, Tristiantoro Adi Wibowo, menyebut kegiatan ini sebagai bagian dari pembinaan yang bermakna.
“Meskipun mereka berada di dalam penjara, warga binaan tetap dapat merayakan hari kemerdekaan dengan penuh semangat. Perlombaan ini bukan sekadar hiburan, tetapi sarana menumbuhkan rasa nasionalisme, sportivitas, dan kebersamaan,” katanya.
Menurutnya, tradisi perayaan kemerdekaan ini telah menjadi agenda tahunan yang selalu dinantikan.
“Kami ingin mereka merasakan semangat kemerdekaan meski berada di balik tembok lapas,” ujarnya.
Kenangan Masa Kecil yang Kembali Hidup
Bagi Heriyanto Baginda, salah satu warga binaan, lomba ini membangkitkan memori masa kecilnya.

“Rasanya seperti kembali ke kampung saat 17 Agustus. Kami jadi kompak, saling mendukung. Terima kasih kepada petugas yang sudah memfasilitasi,” tuturnya dengan mata berbinar.
Bagi banyak peserta, momen ini lebih dari sekadar perlombaan. Ini adalah kesempatan untuk merasakan kebersamaan, melupakan sejenak kesedihan, dan menumbuhkan harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Di tengah keterbatasan, semangat kemerdekaan tetap menyala. Lapas Pohuwato membuktikan bahwa dinding penjara tidak mampu membatasi rasa syukur, kebersamaan, dan tekad untuk berubah.
Hari itu, bukan hanya kemenangan lomba yang dirayakan, tetapi juga kemenangan hati: keberanian untuk tetap bermimpi, dan keyakinan bahwa kemerdekaan sejati dimulai dari perubahan diri.













