Hibata.id – Gelombang protes terkait Polemik candaan bernuansa diskriminatif oleh oknum dosen Universitas Negeri Gorontalo (UNG) terus berdatangan.
Bagi masyarakat Dumoga, ucapan itu bukan sekadar salah bicara seperti yang dikatakan mereka. Perkataan itu justru telah melukai martabat daerah serta memberikan stigma negatif buruk yang selama ini berusaha dihilangkan.
Hal tersebut diungkapkan Mardhatilla Azzahra, warga Dumoga, Minggu (17/8/2025). Ia menilai, pernyataan dosen tersebut tidak hanya menimbulkan keresahan.
Namun seperti membuat label keliru yang melekat pada daerah Sulawesi Utara, khusunya Dumoga. Padahal, banyak anak muda Dumoga kini menempuh pendidikan tinggi dengan harapan mengubah stigma negatif menjadi citra positif.
“Perkataan diskriminatif itu seolah mengulang label lama yang tidak benar tentang Dumoga. Padahal generasi muda kami sedang berusaha keras membalik stigma itu, menunjukkan bahwa Dumoga memiliki potensi besar dan sumber daya manusia unggul,” kata Mardha.
Mardha menegaskan, polemik diskriminasi ini jelas merugikan citra daerah. Menurutnya, Dumoga justru menyimpan kekayaan besar, baik dari sisi sumber daya manusia maupun sumber daya alam.
“Dumoga adalah salah satu daerah lumbung padi terbesar di Sulawesi Utara. Potensi kami sering terabaikan, dan pernyataan seperti ini semakin mendiskreditkan daerah kami,” katanya.
Lebih disayangkan lagi, ujar Mardha, pernyataan bernuansa diskriminatif itu disampaikan di forum Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB) UNG, di hadapan lebih dari 5.000 mahasiswa baru.
“Mahasiswa itu datang bukan hanya dari Gorontalo, tetapi juga dari berbagai daerah. Bagaimana mungkin Dumoga tidak mengalami trust issue ketika ribuan orang mendengar langsung ucapan seperti itu?” jelasnya.
Menurutnya, dampak kasus ini tidak bisa dianggap sepele. Mahasiswa asal Dumoga yang menempuh pendidikan di Gorontalo, khususnya di UNG, ikut menanggung beban psikologis.
“Kesehatan mental mereka pasti terganggu. Mereka merasa dirugikan karena pandangan negatif yang terlanjur tersebar akibat ucapan itu,” tambahnya.
Mardha juga menilai, permintaan maaf dari dosen yang bersangkutan tidak serta-merta menyelesaikan masalah. Apalagi pernyataan diskriminatif itu disiarkan secara langsung (live streaming) dan sudah terlanjur dikonsumsi publik.
“Permintaan maaf tidak bisa menghapus kalimat yang sudah terucap. Orang-orang tetap akan mengingat ucapan itu, dan mahasiswa Dumoga tetap menanggung akibatnya,” tegasnya.
Ia menekankan, perkataan bernuansa SARA tersebut jelas tidak mempertimbangkan perasaan mahasiswa Dumoga yang sedang menempuh pendidikan di UNG.
Karena itu, Mardha mendesak Rektor UNG, Eduart Wolok, segera mengevaluasi dan mencopot oknum dosen tersebut. Terlebih, dosen itu disebut menjabat sebagai kepala salah satu lembaga struktural di UNG.
“Ini harus dipertanyakan: bagaimana mekanisme rektor menunjuk kepala lembaga? Jika seorang kepala lembaga saja bisa mengucapkan kalimat diskriminatif di depan ribuan mahasiswa, maka mekanisme penunjukan itu patut dievaluasi serius,” tegas Mardha.
Menurutnya, evaluasi bukan hanya soal memberi sanksi individu, tetapi juga menyangkut penyelamatan marwah kampus.
“Rektor harus bertindak tegas. Jika tidak, wajah institusi ikut tercoreng. UNG seharusnya menjadi ruang aman yang bebas diskriminasi, bukan panggung yang melukai perasaan mahasiswa dari daerah tertentu,” tutupnya.
Sebelumnya, candaan seorang dosen UNG bernama Zhulmaydin Chairil Fachrussyah yang menyebut Dumoga, Bolaang Mongondow, sebagai daerah dengan kalimat “pam baku potong” viral di media sosial.
Ucapan yang disampaikan saat Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) 2025 itu, dinilai berbau diskriminasi dan diduga kuat merupakan perbuatan rasisme dan merendahkan identitas daerah.
Klarifikasi UNG
Meski begitu, Universitas Negeri Gorontalo bersama Paguyuban Mahasiswa Dumoga telah menggelar pertemuan mediasi. Pertemuan dipimpin Wakil Rektor III UNG, Prof. Dr. Muhammad Amir Arham, M.E., selaku penanggung jawab PKKMB 2025.
Prof. Amir menegaskan, kegiatan PKKMB tidak pernah dimaksudkan untuk menyinggung identitas daerah maupun memunculkan isu diskriminasi.
“PKKMB adalah wadah untuk membina karakter mahasiswa baru, mengenalkan kehidupan kampus, dan membangun kebersamaan,” ujarnya.
Sekretaris Panitia PKKMB 2025, Dr. Suwitno Yutye Imran, S.H., M.H., menambahkan, candaan yang viral itu terjadi secara spontan saat pemateri membaca tulisan mahasiswa.
Ia memastikan nuansa kekeluargaan dalam kegiatan PKKMB sejak hari pertama tidak pernah dimaksudkan untuk merendahkan.
“Kami memohon maaf kepada masyarakat Dumoga. Semangat kebersamaan yang kami bangun sama sekali tidak bertujuan menyinggung pihak mana pun,” katanya.
Kasus candaan dosen UNG tersebut menjadi peringatan penting bahwa komunikasi publik, khususnya di forum pendidikan, harus menjaga sensitivitas budaya dan identitas lokal.
Dumoga dan Bolaang Mongondow, sebagai bagian dari Sulawesi Utara, memiliki nilai sejarah dan sosial yang tidak dapat direduksi menjadi stereotip kekerasan.












