Hibata.id – Komitmen Pemerintah Kota Gorontalo dalam membangun birokrasi profesional dan berbasis sistem merit terancam mandek. Rencana pelaksanaan uji kompetensi (UKOM) bagi pejabat pimpinan tinggi (JPT) pratama di lingkungan Pemkot tahun 2025, kini berada di ujung tanduk.
Bukan karena kesiapan teknis atau anggaran—melainkan karena surat permohonan yang diajukan dua kali oleh Wali Kota Gorontalo, Adhan Dambea, tak kunjung digubris oleh Gubernur Gorontalo, Gusnar Ismail.
Surat pertama bernomor 800/BKPP/II/636 tertanggal 6 Mei 2025, telah diterima Pemerintah Provinsi Gorontalo sehari setelahnya, yakni pada 7 Mei. Namun hingga awal Juni, belum ada tanggapan resmi. Wali Kota pun kembali bersurat melalui Nomor 800/BKPP/II/1164 tertanggal 5 Juni 2025, yang diterima Pemprov pada 10 Juni. Hasilnya? Tetap sunyi.
“Kami tidak bisa melaksanakan UKOM tersebut karena belum diterbitkannya surat pengantar dari Gubernur Gorontalo. Padahal itu syarat administratif mutlak untuk mendapatkan persetujuan dari Menteri Dalam Negeri,” tegas Adhan, Jumat (13/6).
Adhan mengaku heran dengan sikap diam Gubernur Gusnar. Padahal, berdasarkan Pasal 375 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta Pasal 1 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2018, gubernur sebagai wakil pemerintah pusat memiliki kewajiban untuk membina dan memfasilitasi pemerintahan kabupaten/kota—termasuk dalam hal kepegawaian.
“Ini bukan sekadar surat balasan administratif. Ini soal komitmen bersama dalam memperbaiki manajemen ASN di daerah,” kata Adhan.
UKOM JPT Pratama ini sendiri merupakan amanat dari Kementerian Dalam Negeri melalui Surat Nomor 100.2.1.3/1575/SJ, yang mengatur kewenangan kepala daerah dalam aspek kepegawaian pada daerah yang tengah bersiap melaksanakan Pilkada.
Ketiadaan surat pengantar dari gubernur menjadikan proses seleksi tak bisa dilanjutkan. Artinya, jabatan strategis di Pemkot Gorontalo berpotensi tetap diisi oleh pelaksana tugas (Plt), yang tentu berdampak pada stabilitas pengambilan kebijakan dan efektivitas pelayanan publik.
Meski tak menyebut langsung motif tertentu, sikap bungkam Gubernur Gusnar menimbulkan pertanyaan: apakah urusan teknokratik seperti ini terseret tarik-menarik politik menjelang Pilkada?
Jika UKOM gagal dilaksanakan hanya karena mandeknya surat pengantar, maka upaya membangun birokrasi profesional—sebuah fondasi penting pemerintahan—dikorbankan demi ego kewenangan.
“Kami hanya ingin menjalankan aturan. Ini bagian dari kepatuhan terhadap sistem yang dibangun pemerintah pusat sendiri,” ujar Adhan.