Hibata.id – Ada yang berbeda di Lapangan Taruna Remaja, Rabu (29/10/2025). Bukan sekadar seremoni pelantikan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tahap II dan pegawai paruh waktu di lingkungan Pemerintah Kota Gorontalo.
Kali ini, sebelum para aparatur itu resmi mengenakan status barunya, Wali Kota Adhan Dambea lebih dulu meminta sebagian dari mereka membuka dan membaca Al-Qur’an.
Sebuah pemandangan yang jarang muncul di upacara pelantikan ASN.
Namun di Gorontalo, itu bukan hal baru. Bagi Adhan, tradisi mengaji sebelum pelantikan adalah cara sederhana menanamkan nilai tanggung jawab spiritual pada aparatur negara.
“Saya juga ingin mengingatkan seluruh aparatur untuk mempersiapkan diri menghadapi lomba mengaji antar OPD yang akan digelar dalam rangka peringatan Hari Korpri pada 29 November 2025 mendatang,” ujar Adhan, seperti biasa, dengan gaya lugasnya.
Tes membaca Al-Qur’an bukan sekadar formalitas. Ia menjadi simbol bahwa jabatan dan amanah publik tak bisa dipisahkan dari moralitas.
Dalam konteks birokrasi yang kerap dipenuhi rutinitas administratif, langkah ini bisa dibaca sebagai ikhtiar kecil untuk menyeimbangkan spiritualitas dengan profesionalitas.
Di tengah derasnya tuntutan kinerja dan target pemerintahan digital, Adhan justru menegaskan pentingnya pembinaan rohani ASN.
Program “Jumat Mengaji”, yang telah lama berjalan di lingkungan Pemkot Gorontalo, disebutnya sebagai ruang membiasakan aparatur untuk memperkuat nilai keagamaan dalam aktivitas kerja.
“Siapkan dari sekarang. Lomba mengaji nanti akan dilaksanakan untuk memperingati Hari Korpri. ASN harus mampu menjadi contoh dalam membumikan nilai-nilai agama,” tegasnya.
Pesannya sederhana tapi relevan. Ketika banyak aparatur sibuk dengan laporan kinerja dan capaian target, Adhan ingin mereka tak kehilangan ruh: niat pengabdian.
Adhan kemudian menyinggung soal sumpah jabatan.
“Sumpah itu jangan main-main. Kalau dilanggar, akibatnya akan dirasakan sendiri. Allah tahu apa yang diucapkan dan apa yang ada di hati,” ujarnya.
Kalimat itu menohok. Dalam birokrasi, sumpah jabatan kerap terdengar seperti seremonial belaka. Tapi di tangan Adhan, ia dihidupkan kembali sebagai pengingat etis.
Bahwa jabatan publik sejatinya adalah janji — dan janji, jika diucapkan di hadapan Tuhan, tak seharusnya dikhianati.
“Kalau sudah berjanji mengabdi untuk rakyat, jangan berubah-ubah. ASN harus konsisten dan bekerja sungguh-sungguh,” tambahnya.
Konsistensi dan integritas, dua kata yang mulai langka di banyak ruang publik, menjadi pesan utama dari pelantikan itu.
Adhan menutup seremoni dengan peringatan yang tak kalah keras.
“Saya akan turun langsung melihat disiplin dan semangat kerja aparat. Jangan hanya rajin di awal, tapi lemah dalam pelaksanaan,” ujarnya.
Sebuah gaya kepemimpinan yang menggabungkan ketegasan dan sentuhan nilai. Ia tidak bicara soal hukuman, tapi tentang semangat kerja yang berkelanjutan.
Pelantikan PPPK kali ini memang bisa dibaca lebih dari sekadar formalitas administrasi. Ia menjadi refleksi kecil tentang apa artinya menjadi abdi negara di tengah zaman yang semakin digital, pragmatis, dan sering kali kehilangan sisi batin.
Dalam tradisi membaca Al-Qur’an di tengah upacara pelantikan, Adhan Dambea seolah ingin mengingatkan bahwa pengabdian publik bukan hanya tentang jabatan, melainkan juga tentang nurani.
ASN bukan sekadar pegawai dengan seragam dan SK, melainkan manusia yang memikul janji — janji kepada rakyat, dan kepada Tuhan.












