Hibata.id – Konflik agraria di Kabupaten Buol kembali memanas. Puluhan warga dari Desa Lonu dan Pokobo, Kecamatan Bunobogu, mendirikan tenda darurat di tepi Sungai Lonu, wilayah Intil, sebagai bentuk perlawanan terhadap rencana pembukaan lahan oleh PT Hardaya Inti Plantations (HIP), perusahaan perkebunan sawit yang mengantongi izin Hak Guna Usaha (HGU) di wilayah tersebut.
Aksi jaga lahan ini dimulai setelah beredar informasi bahwa PT HIP akan kembali beraktivitas pada 5 Oktober 2025. Bagi warga, pendirian tenda bukan sekadar simbol penolakan, melainkan bentuk nyata menjaga tanah adat, kebun, dan hutan yang mereka warisi turun-temurun.
“Perusahaan datang lagi dengan alat berat dan pengamanan Brimob. Kami hanya ingin kebun dan hutan kami tidak dirusak,” kata seorang warga Lonu yang ikut berjaga di lokasi.
Warga mencatat, perusahaan telah dua kali mencoba melakukan kegiatan pembukaan lahan di wilayah yang diklaim sebagai tanah ulayat mereka. Insiden pertama terjadi pada 19 Juli 2025. Saat itu, puluhan pekerja yang diduga dikontrak perusahaan mulai melakukan pemarasan terhadap tanaman warga di kawasan Papuarang. Aksi ini dihentikan warga yang langsung datang ke lokasi dan meminta para pekerja segera keluar.
Upaya kedua berlangsung pada 20 September, dengan skala yang lebih besar. PT HIP membawa alat berat dan dikawal aparat Brimob. Meski begitu, warga dari dua desa kembali menghadang dan menolak aktivitas tersebut.
Di balik penolakan itu, tersimpan kekhawatiran akan dampak lingkungan dan sosial dari perluasan kebun sawit. Warga menilai, aktivitas pembukaan lahan berpotensi menggusur kebun-kebun produktif, merusak hutan lindung, serta mengganggu aliran air dari Sungai Lonu dan Sungai Tapak Talring—dua sumber utama pengairan dan air bersih bagi masyarakat Desa Lonu, Pokobo, dan Tayadun.
Setidaknya 300 hektare sawah warga bergantung pada pasokan air dari wilayah yang kini terancam dibuka untuk perkebunan. Warga meminta agar Pemerintah Kabupaten Buol mengambil sikap tegas dan berpihak pada masyarakat. Mereka mendesak pemerintah untuk tidak membiarkan pembangunan berjalan dengan cara yang mengorbankan hak-hak warga dan keberlanjutan lingkungan hidup.
“Buol seharusnya dibangun dengan keadilan sosial, bukan dengan menggusur masyarakat,” ujar seorang perwakilan warga dalam pernyataan tertulisnya.













